Minggu, 12 Mei 2013

Harmoni Alam (Bagian 1)

Siang itu, tanggal16 Jumadil akhir 1434 H, matahari begitu terik menyengat. Jam tangan menunjukkan waktu pukul 2 siang. Aku pun segera merapikan meja kerjaku, bersiap untuk segera keluar dari kantor dan memberi beberapa barang yang telah saya rencanakan sebelumnya. Dari dalam kantor, ku lihat matahari bersinar dengan terangnya. Hanya sedikit awan yang singgah di langit kotaku, matahari pun menampakkan diri dengan gagah, tanpa ada penghalang yang berarti.

Setelah meja selesai kurapikan, aku segera menuju motor yang cukup lama "dipajang" di halaman kantor. Ku lihat kendaraan yang melintas sangat ramai, bunyi klakson mobil & motor bercampur baur membuat irama sumbang yang kurang enak di dengar. Perjalanan pun dilanjutkan, dan menuju salah satu toko buku yang sudah ku ketahui sebelumnya banyak menjual buku-buku bernuansa islam.

Sesampainya disana aku segera memarkirkan motor dan disambut seuntai senyum dari penjaga toko yang kebetulan wanita dan usianya mungkin jauh di bawah usiaku. Senyum yang cukup ramah, aku pun balas tersenyum, sambil menundukkan sebentar kepala (ghadul bashor). Melihat dari caranya berpakaian (mengenakan jilbab terikat "kuat" di leher) dan berbicara, tidak mungkin jika ia berusia diatas 25 tahun. Akupun segera menghampirinya dan menanyakan salah satu judul buku yang sedang ku cari. Dengan wajahnya yang polos dan sedikit bingung, ia tampak kesulitan menjawab tanyaku. Sesekali kepalanya tampak melihat ke kanan dan kiri untuk mencari buku yang di maksud, tapi akupun segera "mencegahnya" dan berinsiatif mencari sendiri buku yang dimaksud.

Buku yang telah ku persiapkan jauh-jauh hari untuk di berikan kepada akhifillah (rekan pengajian) dalam acara tukar kado, yang akan di adakan kelompok pengajian malam itu. Saya sengaja memilih buku sebagai kado, karena selain akan bermanfaat untuk penerima, juga bisa menjadi amal jariyah bagi kita yang memberikannya. Terutama jika ia membaca dan mengamalkan apa yang terkandung di dalam buku tersebut. Sepuluh menit sudah waktu berjalan, dan aku masih dalam proses mencari dan memilih dari sekian judul buku yang terbaca olehku, hingga mataku tertuju pada 1 buku. Buku yang juga mungkin menjadi cambuk bagi diri untuk ikut mengaplikasikan isi yang terkandung di dalamnya. Sebenarnya saya sudah memiliki buku yang "substansinya" sama dengan buku tersebut, hanya saja pola motivasi dan judul bukunya saja yang berbeda. Saya harap buku itu akan di dapat oleh akhi yang tepat, dan mungkin juga belum bisa sepenuhnya mengaplikasikan hal apa yang disampaikan oleh buku yang dimaksud.

Jika kalian menebak isi bukunya adalah tentang n*k*h, maka bisa saya jawab, anda salah :-). karena buku itu berjudul "Cinta TahajJud". Sengaja ku pilih buku tersebut karena berharap kolom-kolom evaluasi akan terisi rapi setiap minggunya. Setelah mempertimbangkan isi buku, dan isi dompet (baca: duit). Aku pun memutuskan untuk membelinya. Oh ya, aku teringat dengan tingkah penjaga toko yg kuceritakan di awal tadi, ketika sedang sibuk memilih buku di pojok kumpulan buku2 islam. Sesekali ia bertanya; "milih buku utk pacarnya ya kak ?" yang covernya warna merah muda bagus tuh kak ?" katanya sambil nyengir kuda (walaupun penulis belum pernah liat kuda nyengir).

Kembali ke cerita awal, setelah selesai membeli buku aku segera menarik laju motorku menuju rumah, setelah selesai dengan sekelumit urusanku siang itu. Mungkin untuk "Harmoni alam" edisi 1 aku cukupkan sampai disini dulu, aku tidak mau anda berpanjang-panjang membaca tulisan yang mungkin jauh dari kehandalan sastra para penulis ulung. Di edisi ke 2, aku akan bercerita tentang kegiatanku malam itu dan kisah apa saja yang tercipta di keesokan harinya.. (bersambung)

Minggu, 05 Mei 2013

Perjalanan Malam (Bagian 2)


Malam itu, aku baru bisa memejamkan mata sekitar pukul 23.00. Entah kenapa mataku bisa terpejam di saat sedang takjubnya melihat keindahan bulan malam itu. Mungkin karena banyaknya aktivitas di siang hari dan udara malam yang begitu dingin yang cukup berkontribusi "menidurkan" segenap tubuh dan pikiranku. Di sepertiga akhir malam sekitar pukul 3 lewat 30 menit, di saat kami para peserta mabit sedang asyik dengan tidurnya. Lampu2 masjid mendadak di hidupkan, aku pun terbangun dan melihat ada beberapa orang yang mungkin memang di tugaskan oleh panitia membangunkan rekan-rekannya yang lain untuk segera bangun dan mengambil air wudhu, untuk melaksanakan Qiyyamul lail (Shalat tahajud).

Aku pun segera bangkit dan membereskan kain sarung dan jaket yang ku pakai sebagai perlengkapan tidur. Segera ku berjalan menuju tempat wudhu dan perlahan-lahan membuka kran airnya. Bisa ku rasakan dinginnya udara malam itu yang kebetulan di sertai dengan turunnya hujan yang lumayan deras. Air yang memancar dari kran pun terasa hangat membasahi jari2 dan tanganku. Aku pun segera mengambil siwak membersihkan anggota mulutku, dan menuntaskan wudhuku. Malam itu, aku baru bisa memejamkan mata sekitar pukul 23.00. Entah kenapa mataku bisa terpejam di saat sedang takjubnya melihat keindahan bulan malam itu. Mungkin karena banyaknya aktivitas di siang hari dan udara malam yang begitu dingin yang cukup berkontribusi "menidurkan" segenap tubuh dan pikiranku. Di sepertiga akhir malam sekitar pukul 03.30 WIB, di saat kami para peserta mabit sedang asyik dengan tidurnya. Lampu-lampu  masjid mendadak di hidupkan, aku pun terbangun dan melihat ada beberapa orang yang mungkin memang di tugaskan oleh panitia membangunkan rekan-rekannya yang lain untuk segera bangun dan mengambil air wudhu, untuk melaksanakan

Oh ya, ada 1 hal menarik saat aku berjalan dari tempat wudhu menuju kembali ke shaf masjid, di sudut-sudut masjid aku melihat para peserta mabit yang nota bene kader2 dakwah sedang khusyuk melaksanakan shalat sunnah tahajud, dan sebagian lagi membaca Qur'an. Ada yang berdiri shalat dengan mushaf di tangan kanannya, membaca surat-surat panjang seperti halnya yang Rasulullah shallallahu alaihi wa salam contohkan. Aku pun teringat kepada 1 hadis, yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas'ud, bahwasanya ia bercerita tentang lamanya Nabi saw berdiri dalam shalat tahajudnya, sehingga cukup membuat "gusar" Ibnu Mas'ud yang menjadi makmumnya kala itu. Berbagai macam irama alunan suara2 indah yang keluar dari mulut-mulut suci pun terdengar sayup-sayup memenuhi segenap ruangan masjid. Namun tidak sampai mengganggu kekhusyukan peserta yang lain dalam beribadah.

Sungguh takjub aku melihat suasana malam itu, begitu khusyuknya para peserta dalam melaksanakan ibadahnya demi mengharap rahmat dan ampunan dari Tuhannya. Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan bagi sebagian orang yang sudah terbiasa dan paham betul akan besarnya keutamaan melaksanakan shalat tahajud. Tapi untuk orang seukuran saya dan mungkin pembaca yang masih awam, ada baiknya kita melihat sejenak anjuran Allah swt kepada manusia untuk melaksanakan shalat malam. Seperti yang di firman kan Allah swt dalam QS Al Isra' ayat 79; "Dan pada sebahagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. Dan juga yang terucap dari lisan Rasulullah saw  bahwasanya beliau bersabda : "Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara terang-terangan."

Kembali ke cerita awal, aku pun bersegera menuju shaf depan, mencari ruang kosong untuk ikut bermunajat di malam itu. Mataku melirik sebentar ke arah jam besar yang terpajang indah di mihrab imam di pojok masjid. Waktu menunjukkan pukul 4.10 WIB, masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum adzan subuh berkumandang. Ku mulai tahajud dengan 2 raka'at ringan, yang kemudian dilanjutkan dengan raka'at-raka'at  panjang. Menyempatkan diri untuk berdoa, mengharap dosa di ampuni oleh Yang Maha Pencipta. Sepertiga malam memang termasuk kepada waktu2 mustajab untuk berdoa, karena pada waktu itulah menurut hadis qudsi bahwa Allah azza wa jalla "turun" ke langit dunia dan berfirman yang intinya siapa yang berdoa akan Ia kabulkan, begitu juga bagi hamba yang meminta dan memohon ampunan.

Seiring dengan doa2 dan tilawah qur'an di lantunkan, beduk subuh pun mulai di tabuh oleh salah seorang pengurus masjid. Azan subuh mulai berkumandang, bersahut-sahutan antara satu masjid dengan masjid yang lain, memecah keheningan dan membangunkan sebagian insan yang sedang larut dalam bayang2 di alam mimpinya. Satu demi satu insan terpanggil yang ada di sekitar masjid mulai berdatangan, menyambut seruan suci ilahi. Memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang muslim, terutama mereka yang bertetangga dengan masjid.

Kami para peserta mabit pun larut dalam kekhusyukan ketika imam mengumandangkan takbir dan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'anul Karim.. Ba'da subuh acara pun di lanjutkan, ke markas dakwah tempat aku dan teman2 berkumpul malam itu.di bagian ke 3 dari kisah ini, aku akan menceritakan hal-hal yang cukup menakjubkan yang lebih menitikberatkan pada pengenalan sosok2 insan, yang aku dan temanku az temui. (bersambung)

Kisah Penjual Gorengan yang Istiqomah

Siang itu, matahari baru saja tergelincir dari posisi puncaknya (zawal/di atas kepala). Dari kejauhan terlihat seorang bapak sedang mempercepat langkah mendorong gerobak dagangannnya, ia berjalan menuju masjid yang berada tak jauh dari tempat mangkalnya. Di lihat dari raut wajahnya, mungkin ia berusia sekitar 45 tahun ke atas. Baju kaos hitam berkerah yang ia kenakan tampak lusuh dan sudah berubah warnanya. Kulitnya yang hitam mungkin karena terbakar sinar matahari ketika ia sedang asyik mendorong gerobak dagangannya kesana kemari berharap orang datang mampir membeli.

 Dagangan yang mungkin tidak berisi begitu banyak aneka makanan, hanya ada pisang molen dan tempe goreng di dalamnya. Namun dari dua komoditas itulah beliau bisa mendapatkan nafkah untuk keluarganya di rumah. Beberapa menit berselang ia sudah tiba dan memarkirkan gerobaknya di depan masjid. Terlihat ia mengeluarkan setumpuk uang ribuan dari laci kecilnya, sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran di wajahnya. Uang yang mungkin tidak terlalu banyak jika dilihat dari jumlahnya. Namun bagi sang bapak uang tersebut amatlah berharga, ia dapatkan dari hasil jerih payahnya menjajakan gorengan kesana-kemari, dan mengingat uang tersebut adalah hasil kerjanya setengah hari dan masih ada kemungkinan untuk bertambah ketika ia melanjutkan dagangannya dari siang hingga sore hari.

Dengan logika sederhana, tak pernahkah terpikir oleh kita (termasuk penulis), betapa besarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita ??? Tak perlu kita jauh-jauh bersusah payah mencari uang, terutama untuk mereka yang bekerja di bank, karyawan kantor, dan lain-lain. Cukuplah mereka mengerjakan rutinitas harian dan uang pun akan masuk ke rekening mereka setiap bulannya. Kalaupun mereka sakit atau tidak masuk kerja, mereka akan tetap mendapatkan gaji walaupun tidak 100%. Bayangkan dengan mereka penjaja gorengan keliling, sehari saja mereka tidak bekerja maka uang mustahil mereka dapatkan. Dalam dunia mereka tidak ada istilah "gaji buta", yaitu gaji yang di dapat secara cuma-cuma meskipun individu tersebut tidak bekerja dengan maksimal. 

Kembali ke cerita awal, selesai menghitung si bapak segera  memasukkan uang ke dalam dompetnya. Ia bergegas menuju tempat wudhu di halaman masjid. Dengan sedikit membungkuk, pelan-pelan ia memutar kran air dan membasuh satu per satu anggota badannnya. Segar air terasa di siang hari yang terik itu. Selesai berwudhu dengan langkah tegap setengah lelah beliau masuk ke dalam masjid untuk melakukan ibadah sunnah shalat tahiyatul masjid, dan duduk menunggu adzan zuhur di kumandangkan.

Ia mengistirahatkan tubuhnya sejenak, mengisi selang waktu dengan berdzikir kepada Rabb semesta alam. Gerobak yang merupakan mesin pencari nafkah ia letakkan di luar masjid. Tak ada rasa takut barang dagangannya akan di ganggu/diambil pemuda-pemuda iseng yang mungkin lewat, ketika ia sedang khusyuk melaksanakan ibadah2 sunnah & menanti adzan di dalam masjid. Tak risau juga akan kehilangan pembeli, selama masa 20 menit ia berada di dalam masjid. Berserah diri, & bertawakkal sepenuhnya kepada Allah yang maha menjaga & pemberi rezeki. Ia hanya yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah telah menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Pemandangan yang mungkin jarang kita temui saat ini, dimana banyak orang mendewakan uang dan berusaha mendapatkannya dengan cara apapun, tanpa memandang halal-haram jalannya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini.

Sabtu, 04 Mei 2013

Perjalanan Malam (Bagian 1)

Perjalanan malam. Mungkin ini kata yang tepat untuk memulai tulisanku kali ini. Di sini aku akan bercerita panjang lebar tentang kegitan dan seluk beluk aktivitas yang ku lewati malam itu. Aku juga ingin menceritakan hal-hal yang sempat membuatku takjub, dan sedikit mengungkapkan mengapa malam (lail, dalam bahasa arab-pen) begitu di"muliakan" dalam Islam, bahkan Allah subhanahu wa ta'ala sering mengawali firman-Nya dengan bersumpah, Demi Malam" atau Wal Laily dlm bahasa arabnya. 

Di suatu malam tepatnya di minggu pertama bulan jumadil akhir 1434 H, seperti biasa aku dan sohibku (panggil saja Az), akan menghadiri agenda pengajian rutin mingguan. Kala itu, aku berangkat tidak tepat pada waktunya, mengingat agenda kami ialah agenda spesial dan cukup santai, wisata kuliner bersama rekan-rekan pengajianku. Malam itu aku berangkat sendirian dengan mengendarai sepeda motor, bermodal bensin full tank dan cuaca malam yang cukup bersahabat, aku pun segera melaju menuju "markas" orang-orang soleh. Markas yang menjadi pusat berkumpulnya para aktivitis dakwah di kota kecilku. 

Biasanya aku berangkat berdua dengan temanku. Namun, karena malam itu dia ada kegiatan lain jadi kami tidak bisa berangkat berbarengan. Tepat jam 8 lewat 20 menit, kami telah berkumpul di markas. Duduk-duduk sebentar, mengobrol dan bercanda, sembari menunggu bendahara kelompok kami datang. Maklum, malam itu agenda kami membutuhkan dana yang cukup besar. Tiga puluh menit kemudian, sekitar pukul 8 malam lewat 55 menit bendahara pun datang sambil menjelaskan alasan keterlambatannya, dan tanpa menunggu lama kami langsung berangkat ke tempat "wisata kuliner" yang telah kami rencanakan di minggu sebelumnya, di depan SMA swasta terkemuka di kotaku. 

Acara pun dimulai ketika makanan yang di pesan telah terhidang di depan kami. Sambil melanjutkan santap malam dan sesekali bercanda bersama teman2, kami melahap habis makanan yang di hidangkan. Penuh rasa ukhuwah dan kebersamaan. Selesai dari tempat itu, kami pun melanjutkan perjalanan malam itu ke sebuah masjid, yang terletak di jln. kemang 1 sekitar 500 meter dari lokasi wisata kuliner. Kami ingin melengkapi wisata kuliner malam itu dengan mengikuti acara Mabit yang di adakan oleh salah satu kelompok dakwah di masjid tersebut. Sekedar untuk di ketahui, Mabit adalah Malam Bina Iman dan Taqwa, pada malam itu ruhiyah atau pemahaman akan ilmu agama kita benar-benar di bina, di isi dengan kegiatan2 islami, mulai dari ceramah agama, bangun malam utk qiyyamullail dan shalat subuh berjamaah. 

Kembali ke cerita awal, sesampainya di sana aku dan teman-teman segera memarkirkan kendaraan kami di halaman masjid. Dari luar, aku melihat jauh ke dalam masjid melalui kaca jendela masjid yang transparan, aku melihat seorang ustadz muda mengenakan kopiah hitam dan baju koko putih sedang berdiri menyampaikan ceramah di hadapan puluhan kader dakwah yang hadir di acara itu. Rupanya acara telah berjalan lebih dulu sebelum kami tiba. Materi yang ku ingat di sampaikan oleh sang ustadz pada malam itu bertema tentang kematian. Namun sayang, pada waktu kami tiba ustadz telah selesai menyampaikan ceramahnya dan di lanjutkan ke sesi diskusi (tanya jawab). 

Sekitar pukul 22.30 malam itu, sesi diskusi pun di tutup, dan para peserta mabit di bolehkan melakukan aktivitasnya masing-masing. Pukul sebelas malam para peserta sudah terlihat berbaring di lantai-lantai masjid beralaskan karpet merah, ada yang sudah tertidur namun sebagian ada yang masih kelihatan mengobrol, bercerita seputar kegiatan sehari-hari, seperti yang di lakukan temanku az bersama temannya yang lain. 

Sementara aku sendiri masih belum bisa memejamkan mata, aku hanya tertegun dan takjub melihat bulan dari balik kaca masjid yang begitu indah terlukis di langit biru malam itu.Tepat di samping bulan terdapat banyak bintang yang bertebaran. Mereka ibarat pecahan intan yang berhamburan memenuhi langit. Gumpalan awan tipis berwarna hitam tampak bergelayut di bawah bulan, seolah tak mau ketinggalan menghiasi indahnya langit malam itu. Subhanallah.. maha suci Engkau ya Allah yang menciptakan bumi dan alam semesta.. Kami hanyalah butiran debu di hadapan-Mu. (Bersambung)