Kamis, 30 Juli 2009

Legenda Pendekar Islam Negeri Cina

Komandan Armada yang dikenal dengan nama Cheng Ho atau Zheng He ini memang beragama Islam, dimana dikisahkan ayahnya pernah naik haji dan ia sendiri disunat sejak kecil. Namun perjalanan armada Cheng Ho bukanlah untuk menyebar-nyebarkan agama Islam di tempat yang disinggahinya, walau ia muslim.

Lebih layak kalau perjalanan armadanya adalah untuk riset, menagih upeti dari Majapahit dan mengamankan Sriwijaya dari serangan bajak laut yang juga orang-orang Cina. Kota Palembang sekarang yang banyak dihuni orang-orang berwajah Cina tapi beragama Islam mungkin bisa dijadikan kunci untuk menelisik lebih jauh tentang peran Cina muslim dalam islamisasi di Indonesia. Juga tentang keberadaan preman-preman Palembang yang kondang mungkin bisa dihubungkan dengan adanya perkampungan yang dihuni para bajak laut di masa lalu. Bagaimana dengan mpek-mpek? di daerah Cina selatan dikabarkan ada makanan sejenis itu yang mungkin merupakan cikal bakal mpek mpek Palembang.

Siapakah Cheng Ho sebenarnya?
Kisah pelayaran Cheng Ho tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya (laporan khusus Time di bawah tajuk The Asian Voyage: In the Wake of the Admiral, ed. August 20-27, 2001) tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi kelautan-perkapalan di Eropa khususnya pasca penjelajahan sang maestro.

Legenda Sinbad Sang Pelaut yang begitu populer di Timur Tengah juga terinspirasi oleh kisah legendaris Cheng Ho. Di Indonesia, terutama Jawa, juga terdapat jejak historis yang tak terbantahkan sebagai pengaruh misi muhibah Cheng Ho. Selain itu, juga cukup banyak berbagai karya sastra yang bertutur tentang Cheng Ho/Sam Poo Kong seperti yang ditulis Remy Silado (saya sendiri belum membaca, disarikan dari resensi seorang teman).

Cerita lisan Dampu Awang yang begitu kuat di masyarakat pesisir utara Jawa juga disinyalir merupakan pengaruh dari legenda itu. Jadi siapakah Cheng Ho sehingga pengaruhnya begitu besar?
Cheng Ho sebetulnya adalah nama yang diberikan oleh Cheng Tzu atau Chu Teh yang lebih populer dengan sebutan Yung Lo, kaisar ke-3 Dinasti Ming yang berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Nama asalnya adalah Ma Ho, lahir 1370 M dari keluarga miskin etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas muslim Tionghoa campuran Mongol -Turki. Karena jasanya dalam turut mengkudeta Kien Wen, akhirnya Ma Ho diberi jabatan penting oleh Kaisar Yung Lo sebagai pemegang komando atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana yang melayani kaisar sebagai polisi rahasia (Seagrave, 1999).


Ini merupakan jabatan sangat berpengaruh, sebagai bukti kepercayaan sang kaisar pada Cheng Ho, ia diberi mandat untuk memimpin ekspedisi laut sebagai Commander in Chief lewat sebuah dekrit kerajaan (Imperial Decree). Sementara wakil dan sekretaris masing-masing dipegang oleh Laksamana Muda Heo Shien (Husain) dan Ma Huan serta Fei Shin (Faisal) sebagai juru bahasa Arab, selain Ma Huan yang memang mahir berbahasa Arab juga Hassan, seorang imam di bekas ibukota Sin An (Changan). Dalam menjalankan politik diplomasi laut ini, Kaisar Yung Lo mengeluarkan armada berjumlah 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran lebih kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para tabib, juru tulis dan intelektual agama. Kisah itu kemudian ditulis antara lain di Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming).

Sejak 1405, awal mula Cheng Ho mengadakan pelayaran sampai wafatnya, 1433 ia telah mengadakan pelayaran selama 7 kali dan mengunjungi lebih dari 37 negara: dari berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudra Hindia sampai ke Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah hingga pesisir Kenya.

Dilihat dari kuantitas dan waktu, ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para pengembara mana pun di Eropa: Chistopher Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, Francis Dranke dan lain-lain. Karena prestasinya yang luar biasa menjadikan Cheng Ho semakin dimitoskan dan diberi julukan kaisar sebagai Ma San Bao ("Ma" si Tiga Permata). Julukan sebagai ungkapan rasa sayang dalam adat Tionghoa. Setelah Cheng Ho meninggal dunia karena sakit pada tahun 1435, di usia 65 tahun, ia dimakamkan di Niushou (Bukit Kepala Banteng), Nanjing, Cina Daratan.

Dalam komunitas Tionghoa dewasa ini, terlepas dia seorang muslim atau tidak, tokoh Cheng Ho menjadi semacam tokoh mitologi yang diagungkan. Ia tidak hanya dipuja dan dikagumi sebagai seorang Bahariwan Agung tetapi juga disembah sebagai dewa di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Poo Kong terutama oleh penganut agama leluhur Tionghoa. Di kemudian hari,sang maestro ini dikenal dengan berbagai sebutan: Sam Poo Tay Djin, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa Lang dan lain-lain.

Ini adalah sebuah anakronisme historis. Sebab Cheng Ho yang manusia biasa dan muslim itu kemudian diberhalakan sebagai dewa yang disembah di kelenteng. Lebih menyedihkan lagi, sejarah Cheng Ho selalu ditulis secara hagiografis yaitu berlebih-lebihan yang cenderung melampaui manusia lumrah bukan menggunakan pendekatan sejarah kritis. Akibatnya, sosok Cheng Ho tampil sebagai manusia yang nyaris sempurna yang hanya pantas ada di alam mitos. Padahal Cheng Ho adalah seorang Muslim Tionghoa lumrah sebagaimana lainnya yang tentu memiliki berbagai keterbatasan. Jasa terbesar dia barangkali adalah telah menjalin persahabatan antara Tiongkok dengan negara atau kerajaan lain di dunia ini yang diperkukuh dengan pertukaran kebudayaan yang masih tampak hingga dewasa ini, termasuk di Jawa.

Sino-Javanese Muslim Cultures
Memang telah terjadi apa yang disebut "Sino-Javanese Muslim Cultures" yang membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa. Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam misalnya masjid, yang menunjukkan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga berbagai seni/sastra, batik, ukir dan unsur kebudayaan lain. Sayang, fenomena Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak terpelihara dengan baik bahkan oleh masyarakat Tionghoa muslim sendiri.

Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengenai asal-usul/genealogi mereka. Para sejarawan Tanah Air juga sangat langka yang merawat atau memelihara kesejarahan akulturasi Tionghoa, Islam, Jawa ini. Mereka umumnya terkena penyakit intellectual laziesness atau kemalasan intelektual untuk melakukan penggalian sejarah yang memang minim dokumentasi tertulis ini.

Perpustakaan Nasional juga tidak menyimpan dokumen-dokumen berharga kaitannya dengan kesejarahan Jawa terutama Jawa prakolonial sebuah kurun di mana perjumpaan Tionghoa, Islam, Jawa mengalami intensitas tinggi. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila setiap kali diadakan pembicaraan mengenai asal-usul Islam di Jawa, para sejarawan selalu mengulang-ulang teori klasik, sekaligus klise, yakni bahwa Islam yang tersebar di Jawa ini melalui para pedagang dari India Belakang (Gujarat) dan Timur Tengah terutama Persia. Padahal jika kita mau jujur, bangsa Tionghoa-lah sebetulnya yang memiliki peran cukup signifikan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya.
Argumentasi ini tidak hanya didasarkan pada laporan sejarah yang dilakukan Ma Huan (seorang muslim Tionghoa yang juga sekretaris Cheng Ho) yang pada abad ke-15 mengunjungi pesisir Jawa tetapi juga oleh beberapa pengembara asing lain seperti de Baros (Portugis), Ibnu Battuta (Maghrib), dan Loedwicks (Belanda). Teks-teks babad lokal juga menceritakan adanya orang-orang Tionghoa muslim yang mempunyai pengaruh kuat dalam proses penyebaran Islam di Jawa.

Fakta yang tak terbantahkan tentu saja adalah apa yang saya sebut Sino-Javanese Muslim Cultures tadi. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan, Jepara , menara masjid di pecinan Banten (Jawa Barat), konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur), arsitektur Keraton dan Taman Sunyaragi di Cirebon (Jawa Barat), konstruksi Masjid Demak (Jawa Tengah) terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kuranya, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya semuanya menunjukkan adanya keterpengaruhan budaya Tionghoa yang sangat kuat.

Peninggalan sejarah yang tak terelakkan dari masyarakat Tionghoa muslim adalah dua masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai. Bukti-bukti kesejarahan ini belum termasuk kelenteng kontroversial yang diduga kuat oleh beberapa sejarawan sebagai bekas masjid yang dibangun masyarakat Tionghoa muslim pada abad ke-15/16. Kelenteng-kelenteng dimaksud adalah Kelenteng Ancol (Jakarta), Kelenteng Talang (Cirebon), Klenteng Gedung Batu (Simongan, Semarang), Kelenteng Sampokong (Tuban) dan Kelenteng Mbah Ratu (Surabaya). Inilah sekelumit dari fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas.

Fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas sekaligus menunjukkan bahwa komunitas Tionghoa di negeri ini pernah hidup berdampingan secara damai dengan etnis lain, Jawa, Betawi. Mereka tidak hanya saling tukar-menukar kebudayaan tetapi lebih dari itu juga mengadakan perkawinan silang dengan perempuan setempat karena kita tahu para pengembara Tionghoa pada waktu itu semuanya laki-laki. Kata nyonya yang begitu melekat dalam masyarakat kita pada awalnya berasal dari akar kata Hokian "nio" atau "niowa" yang berarti perempuan lokal yang dinikahi laki-laki Tionghoa.

Dari sinilah maka tidak mengherankan apabila banyak masyarakat Indonesia yang sebetulnya masih memiliki darah Tionghoa. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya tembong biru pada pantat atau bagian bawah lain dari bayi yang baru lahir. Tembong biru itu mengisyaratkan bahwa si bayi mempunyai darah Mongoloid atau darah Tionghoa (Mongoolse Vlek).

Fakta harmoni Tionghoa-Jawa ini kemudian dirusak oleh Belanda dengan menerapkan politik segregasi berupa passenstelsel, keharusan bagi setiap orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal, dan wijkenstelsel, pelarangan bagi Tionghoa untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun satu ghetto yang kemudian dikenal dengan Pecinan sebagai tempat tinggal. Sejak itu Tionghoa menjadi terisolasi dari publik ramai, dan menjadi eksklusif. Fakta ini diperparah dengan adanya penulisan sejarah Jawa yang Nerlando-centris sehingga semakin mengucilkan peran dan eksistensi masyarakat Tionghoa terlebih Tionghoa muslim di Indonesia. Hal inilah yang sepatutnya kita luruskan bersama.(myn) SuaraMedia.Com

Psikolog Islam Legendaris

Dunia psikologi Islam mengenalnya sebagai pencetus terapi penyakit jiwa. Psikolog legendaris Muslim dari abad ke-9 M itu bernama lengkap Abu al-Hasan Ali ibnu Sahl Rabban al-Tabari. Selain dikenal sebagai seorang psikolog, al-Tabari juga menguasai ilmu lain yakni, fisika dan kedokteran. Namanya tetap dikenang berkat karya-karya tulisnya yang sangat berpengaruh.

Lewat kitab Firdous al-Hikmah yang di tulisnya pada abad ke-9 M, dia telah mengembangkan psikoterapi untuk menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari menekankan kuatnya hu bungan antara psikologi dengan kedokteran. Ia berpendapat, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan dan psikoterapi.

Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit karena imajinasi atau keyakinan yang sesat. Un tuk mengobatinya, kata al-Tabari, dapat dilakukan me lalui ‘’konseling bijak’‘. Terapi ini bisa dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya hu mor yang tinggi. Caranya de ngan membangkitkan kembali ke percayaan diri pasiennya. Pemi kir annya di abad ke-9 M ternyata masih relevan hingga sekarang.

Psikolog kenamaan itu terlahir pa da 838 M. Ia merupakan keturunan Yahudi Persia yang menganut Zoroas ter. Menurut SN Nasr, dalam karyanya bertajuk Life Sciences, Alchemy and Medi cine al-Tabari semasa hidupnya telah ber pin dah keyakinan menjadi seorang Muslim. Awalnya, dia berasal dari keluarga Yahudi dari Merv di Tabaristan. Karena itu nama belakangnya di tambahkan al-Tabari sesuai dengan nama daerah asalnya. Ia lalu memutuskan hijrah ke dunia Is lam pada saat Khalifah Abbasiyah, Al-Mu’tasim (833-842) berkuasa.

Al-Tabari lalu mengabdi di istana khalifah Dinasti Abbasi yah hingga kepemimpinan al-Mutawakkil (847-861). Al-Tabari berasal dari keluarga ilmuwan. Ayahnya, Sahl Ibnu Bishr merupakan seorang ahli pengobatan, astrolog dan ahli matematika yang terkenal. Dia tergolong keluarga bangsawan dan banyak orang-orang di sekitarnya memanggilnya Raban yang artinya ‘pemimpin kami’.

Sang ayah adalah guru pertama bagi al-Tabari. Dari ayahnya, ia mempelajari ilmu pengobat an dan ka ligrafi. Sebagai seorang pemuda berotak encer, Ali juga sangat mahir berbahasa Suriah dan Yunani. Nama besarnya dicacat dan diabadikan dalam dalam karya muridnya Muhammad Ibnu Zakariya al-Razi alias Rhazes, fisikawan agung.

Al-Tabari dinilai muridnya sebagai seorang guru yang berdedikasi tinggi. Tak heran, jika murid-muridnya juga meraih ke suksesan seperti dirinya, salah satunya al-Razi. Ia mengajari al-Razi ilmu pengobatan saat menetap di wilayah Rai. Lalu dia hijrah ke Samarra dan menjadi sek reta ris nya Mazyar ibnu Marin. Meski begitu, ia kalah pamor dibanding, muridnya al-Razi.

Kitab Firdous al-Hikmah atau (Paradise of Wisdom) merupakan adikarya sang psi kolog. “Ia menghasilkan karya pertamanya dalam bidang pengobatan. Dia merupakan orang pertama yang mengusung ilmu kesehatan anak-anak dan bidang pertumbuhan anak,” ujar Amber Haque dalam bukunya berjudul Psychology from Islamic Perspec tive: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists

Kitabnya yang monumental itu juga diterjemahkannya ke dalam bahasa Suriah. Al-Tabari memiliki dua kompilasi untuk karya nya yang dinamakan Deen-al-Doulat dan Hifdh al-Sehhat. Adikarya sang ilmuwan itu bisa ditemukan di perpustakaan Universitas Oxford, Inggris. Al-Tabari tutup usia pada tahun 870 M, namun namanya hingga kini tetap abadi.

Kitab Firdous al-Hikmah berisi tentang sistem pengobatan yang dibuat dalam tujuh bagian. Buku pertama itu dikategorikan se ba gai ensiklopedia kedokteran dan dibuat da lam tujuh volume dan 30 bagian, dengan total 360 bab.

Dalam kitabnya itu, al-Tabari membagi ilmu pengobatan dalam beberapa bagian, antara lain: ilmu kesehatan anak dan pertumbuhan anak serta psi ko logi dan psikoterapi. Di bagian peng obatan dan psikoterapi, al-Tabari me ne kankan kekuatan antara psikologi dan peng obatan, dan kebutuhan psikoterapi dan kon seling pada pelayanan pengobatan pasien.

Menurut Amber Haque, al-Tabari menuliskan dalam risalahnya, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan dan psikoterapi. Ia melakukan pendekatan terhadap pasien dengan bantuan konseling, atau mencoba pasiennya meng ung kapkan isi hati serta perasaan yang meng gangu.

Ia juga mengajarkan agar para dokter, mem berikan perhatian, tidak hanya dalam bentuk pengobatan, namun juga dalam ben tuk berdialog. Inilah upaya yang diyakini Ali akan membantu suksesnya sebuah pengobatan.

Pemikirannya dalam bidang psikologi banyak mempengaruhi al-Razi. Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi, al-Razi juga telah berhasil mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit men tal dan masalahmasalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama yang membuka ruang psi kiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pemikir Muslim lainnya di masa ke emas an Islam yang turut menyumbangkan pe mikirannya untuk pengobatan penyakit ke jiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran.

Hingga kini, sebanyak lima karya al-Tabari masih tetap tersimpan di perpustakaan. Dr Mohammed Zubair Siddiqui telah membandingkan dan mengedit manuskrip karya al-Tabari. Dalam kata pengantarnya, Siddiqui mengaku sangat kagum dengan karya sang ilmuwan dari abad ke-9 M itu. Menurut dia, buah pikir al-Tabari sungguh sangat berguna.

Alquran di Mata Al-Tabari

Ali bin Rabban al-Tabari awalnya adalah penganut Zoroaster. Ia lalu memutuskan untuk masuk Islam, karena begitu kagum dengan Alquran. Sang psikolog terkemuka itu mengaku tidak pernah menemukan tulisan maupun bahasa yang lebih hebat dan sempurna dari Alquran.

Pengakuan al-Tabari terhadap kehebatan Alquran itu dikutip MSM Saifullah dalam karyanya bertajuk Topics Relating to The Qur’an: I’jaz, Grammarians & Jews. “Apa yang dikatakan Quran itu adalah benar. Kenyataannya adalah saya tidak menemukan satu bukupun, dalam bahasa Arab dan Persia serta dalam bahasa India atau Yunani yang sempurna seperti Alquran,’‘ tuturnya.
ADIKARYA KARYA SANG PSIKOLOG
1. Firdous al-Hikmah (“Paradise of Wisdom”)
2. Tuhfat al-Muluk (“The King’s Present”)
3. Hafzh al-Sihhah (“The Proper Care of Health”), mengikuti pengarang Yunani dan Indian.
4. Kitab al-Ruqa (“Book of Magic or Amulets”)
5. Kitab fi al-hijamah (“Treatise on Cupping”)
6. Kitab fi Tartib al-‘Ardhiyah (“Treatise on the Preparation of Food”).(rpb) SuaraMedia.Com

Sejarah Islam di Negeri China

Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina," begitu kata petuah Arab. Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom' - julukan Cina.

Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat layar' dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.

Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah.
Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti 'agama yang murni'. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran 'Buddha Ma-hia-wu' (Nabi Muhammad SAW). Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah. Mereka antara lain; Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M - 618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa'ad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di Cina, Sa'ad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran.

Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M - kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Sa'ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan Cina. Konon, Sa'ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys' Mazars.

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton - masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.
Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias 'So-Fei Er'. Dia bergelar `bapak' komunitas Muslim di Cina.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.

Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho - seorang pelaut Muslim andal.

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

Masa Surut Islam di Daratan Cina
Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan Keislaman.

Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima - menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.
Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma.

Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di Cina.(nym) SuaraMedia.Com

Istambul, Kota dambaan para Raja

Prediksi Rasulullah SAW mengenai kejatuhan Konstantinopel itu akhirnya benar-benar terbukti. Kamis, 26 Rabiul Awal 857 H/ 6 April 1453 M, pasukan tentara Muslim di bawah komando Sultan Muhammad II tiba di ibukota negara adikuasa bernama Bizantium. Sultan pun berkirim surat kepada penguasa Bizantium yang berisi ajakan untuk masuk Islam atau menyerahkan Konstantinopel secara damai.

Perang menjadi pilihan terakhir. Namun, penguasa kota itu Constantine Paleologus - menolak seruan dakwah dan berkukuh tak mau menyerahkan Konstantinopel ke tangan Umat Islam. Paleologus lebih memilih jalan perang. Pasukan tentara Bizantium dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa, siap menghadapi meriam-meriam tercanggih dan 130 ribu tentara Muslim.

Lantaran tawarannya ditolak, Sultan ketujuh dari Kerajaan Usmani itu pun mulai mengobarkan semangat jihad. Gema takbir terus membahana seiring derasnya serangan yang dilancarkan pasukan Sultan Mehmed - begitu orang Barat menyebutnya — ke benteng Bizantium yang kokoh. Pertempuran hebat pun meletus.

Kerajaan Ottoman dengan strategi, teknologi perang, serta kepemimpinan militer yang tangguh, dan 130 ribu pasukan akhirnya berhasil membungkam kepongahan Bizantium. Setelah 53 hari berjibaku angkat senjata, dengan semangat jihad pasukan Sultan Muhammad akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel.

Harapan dan impian umat Islam untuk menundukkan Bizantium yang telah dirintis sejak tahun 664 M akhirnya tercapai. Kemenangan yang tertunda selama 800 tahun itu akhirnya tiba juga. Sejak saat itu, bendera Kerajaan Usmani berkibar di langit Konstantinopel, kota impian para raja, kaisar dan sultan.

Konstantinopel pun memasuki era baru. Kota itu lalu berganti nama menjadi Istanbul yang berarti ‘kota Islam’, sekaligus menjadi ibukota Kerajaan Ottoman. Sebuah momentum penting dalam sejarah dunia. Kali pertama menduduki kota penting itu, Kerajaan Usmani mulai menegakkan hukum di kota itu.

Tak ada pembantaian terhadap penduduk Konstantinopel. Bahkan, pemerintahan Islam Usmani bekerja sama dengan umat Kristen untuk kembali membangun perekonomian, menjalin persahabatan dengan Yunani. Dinasti Usmani juga terus mengepakkan sayap kekuasaannya ke wilayah Mesir, Arabia, dan Syiria. Yang tak kalah pentingnya, kerajaan Usmani menyebarkan ajaran Islam hingga ke kawasan Balkan.

Seiring dengan menancapnya dominasi Islam, wajah bekas kota Konstantinopel itu pun berganti rupa. Bangunan masjid bermunculan, namun tetap dengan corak arsitektur Bizantum yang khas. Tak heran, jika pengaruh Bizantium ikut mewarnai gaya arsitektur Islam di Turki. Kemegahan bangunan Gereja Aya Sofia banyak mewarnai arsitektur masjid di Istanbul.
Di bawah kekuasaan Daulah Usmani, Istanbul terus berbenah. Pembangunan pun terus berlanjut, sepeninggal Sultan Muhammad (Mehmed) II. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman I (1520-1566), pada tahun 1550 di Istanbul berdiri Masjid Sulaiman. Bangunan masjid itu berdiri kokoh dengan empat menara dan kubahnya lebih tinggi dari Aya Sofia.

Guna menambah jumlah penduduk Muslim di Istanbul, umat Islam yang tinggal di Anatolia dan Rumeli dianjurkan untuk bermigrasi ke Istanbul. Akhir 1457, migrasi besar-besaran terjadi dari Edirne bekas ibu kota Kerajaan Usmani ke Istanbul. Pada 1459, kota terbesar di Eropa itu dibagi menjadi empat wilayah administratif.

Sebagai sebuah kota besar pada zamannya, di Istanbul pun berdiri berbagai sarana dan prasarana publik. Tak kurang ada 81 masjid besar serta 52 masjid berukuran sedang di kota itu. Untuk mendidik para generasi muda, tersedia 55 madrasah, tujuh asrama besar untuk mempelajari Alquran.

Fasilitas sosial pun bermunculan, tak kurang lima takiyah atau tempat memberi makan fakir miskin berdiri. Tiga rumah sakit disediakan untuk mengobati penduduk kota. Tujuh buah jembatan juga dibangun untuk memperlancar arus transportasi. Guna menunjukkan kejayaannya, Kerajaan Usmani membangun 33 istana dan 18 unit pesanggrahan.

Selain itu, 33 tempat pemandian umum juga telah disediakan di berbagai penjuru kota. Untuk menyimpan benda-benda bersejarah, pemerintah Usmani pun menyediakan lima museum. Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai ‘kiamat kecil’.

Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu membahu membangun kembali kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya, kota Istanbul kembali tampil megah dan gagah.

Pada tahun 1727 M pada masa Ibrahim Muteferika - seorang ilmuwan terkemuka - di Istanbul dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain Alquran, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak. Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah, dan lainnya dicetak. Apalagi mulai 1727 sudah mulai berdiri badan penerjemah.

Sayangnya, ketika imperium Usmani memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan. Daulah Usmani lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan, ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan.

Seiring kemunduran yang dialami Kerajaan Usmani, Turki akhirnya berubah haluan menjadi negara sekuler pada 1923. Di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk, sekulerisme menjadi ideologi negara. Semua simbol Islam dilarang, penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin.

Dakwah diawasi. Bahkan pada 1925, Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup, hukum pernikahan Islam diganti dengan hukum positif Swedia. Kini angin segar kembali berhembus di Istanbul. Muslimah kini diperbolehkan lagi mengenakan jilbab.(kbh)

sumber : suaramedia.com

Suku Indian Cherokee dahulu adalah muslim

Benarkah?
Ya benar sekali, dalam sejarah yang tidak terungkap dan tidak pernah terungkap dan hanya diungkap di kalangan akedemisi yang berhubungan dengan sejarah, tercatat bahwa suku indian Cherokee mayoritas beragama muslim. Sebagai bukti bahwa hal itu memang benar, kalau ada rejeki dan kesempatan bisa berkunjung ke perpustakaan kongres amerika (Library of Congress) silahkan minta untuk ditunjukkan arsip perjanjian antara pemerintah AS dan orang-orang indian suku Cherokee pada tahun 1787. Disana akan terlihat tanda tangan kepala suku Cherokee saat itu dengan nama Abdel-Khak and Muhammad Ibn Abdullah

Subhanalloh….

Kok bisa?
Sejarahnya panjang,

Semangat orang-orang Islam dan Cina saat itu untuk mengenal lebih jauh planet (tentunya saat itu nama planet belum terdengar) tempat tinggalnya selain untuk melebarkan pengaruh, mencari jalur perdagangan baru dan tentu saja memperluas dakwah Islam mendorong beberapa pemberani di antara mereka untuk melintasi area yang masih dianggap gelap dalam peta-peta mereka saat itu.

Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan hampir semua orang pernah mendengarnya sebut saja Tjeng Ho dan Ibnu Batutta, namun beberapa lagi hampir-hampir tidak terdengar dan hanya tercatat pada buku-buku akademis.

Para ahli geografi dan intelektual dari kalangan muslim yang mencatat perjalanan ke benua Amerika itu adalah Abul-Hassan Ali Ibn Al Hussain Al Masudi (meninggal tahun 957), Al Idrisi (meninggal tahun 1166), Chihab Addin Abul Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) dan Ibn Battuta (meninggal tahun 1369).

Menurut catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 - 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi. Dalam bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), Al Masudi melaporkan bahwa semasa pemerintahan Khalifah Spanyol Abdullah Ibn Muhammad (888 - 912), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhoola, dan kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Sesudah itu banyak pelayaran yang dilakukan mengunjungi daratan di seberang Lautan Atlantik, yang gelap dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis buku ‘Akhbar Az Zaman’ yang memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan para pedagang ke Afrika dan Asia.

Dr. Youssef Mroueh juga menulis bahwa selama pemerintahan Khalifah Abdul Rahman III (tahun 929-961) dari dinasti Umayah, tercatat adanya orang-orang Islam dari Afrika yang berlayar juga dari pelabuhan Delba (Palos) di Spanyol ke barat menuju ke lautan lepas yang gelap dan berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil kembali dengan membawa barang-barang bernilai yang diperolehnya dari tanah yang asing.

Beliau juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009) seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkanpelabuhan Kadesh pada bulan Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary).Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada bulan Mei 999.

Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 - 1307) raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.

Sultan-sultan dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 - 1384) memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan yang tercatat melanglang buana hingga ke benua baru saat itu adalah Sultan Abu Bakari I (1285 - 1312), saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa (1312 - 1337), yang telah melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan Atlantik hingga ke Amerika dan bahkan menyusuri sungai Mississippi.

Sultan Abu Bakari I melakukan eksplorasi di Amerika tengah dan utara dengan menyusuri sungai Mississippi antara tahun 1309-1312. Para eksplorer ini berbahasa Arab. Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika diabadikan dalam peta berwarna Piri Re'isi yang dibuat tahun 1513, dan dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika selatan dan bahkan benua Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat.

Bicara tentang Cherokee tentu saja tidak bisa lepas dari Sequoyah (portait kiri atas). Seorang asli suku Cherokee yang menghidupkan kembali Syllabary suku mereka pada 1821. Syllabary adalah semacam aksara barangkali, bila kita mengenalnya dengan abjad A sampai Z maka suku Cherokee memiliki cara sendiri untuk aksara-nya. Yang membuatnya sangat luar biasa adalah ternyata aksara yang ditemukan kembali oleh Sequoyah mirip sekali dengan aksara Arab (lihat di bawah). Beberapa tulisan cherokee abad ke-7 yang ditemukan terpahat pada bebatuan di Nevada bahkan sangat mirip dengan tulisan “Muhammad” dalam bahasa Arab.

Bukti lainnya adalah, Columbus sendiri mengetahui bahwa orang-orang Carib (Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia faham bahwa orang-orang Islam telah berada di sana terutama orang-orang dari Pantai Barat Afrika. Mereka mendiami Karibia, Amerika Utara dan Selatan. Namun tidak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika. Orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan beberapa menikahi orang-orang pribumi.
Lebih lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492 dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.

Dan tahukah anda? 2 orang nahkoda kapal yang dipimpin oleh Columbus kapten kapal Pinta dan Nina adalah orang-orang muslim yaitu dua bersaudara Martin Alonso Pinzon dan Vicente Yanex Pinzon yang masih keluarga dari Sultan Maroko Abuzayan Muhammad III (1362). [THACHER,JOHN BOYD: Christopher Columbus, New York 1950]

Dan mengapa hanya Columbus saja yang sampai saat ini dikenal sebagai penemu benua amerika? Karena saat terjadi pengusiran kaum yahudi dari spanyol sebanyak 300.000 orang yahudi oleh raja Ferdinand yang Kristen, kemudian orang-orang yahudi menggalang dana untuk pelayaran Columbus dan berita ‘penemuan benua Amerika’ dikirim pertama kali oleh Christopher Columbus kepada kawan-kawannya orang Yahudi di Spanyol. Pelayaran Columbus ini nampaknya haus publikasi dan diperlukan untuk menciptakan legenda sesuai dengan ‘pesan sponsor’ Yahudi sang penyandang dana. Kisah selanjutnya kita tahu bahwa media massa dan publikasi dikuasai oleh orang-orang Yahudi yang bahkan dibenci oleh orang-orang seperti Henry Ford si raja mobil Amerika itu. Maka tampak ada ketidak-jujuran dalam menuliskan fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika. Penyelewengan sejarah oleh orang-orang Yahudi yang terjadi sejak pertama kali mereka bersama-sama orang Eropa menjejakkan kaki ke benua Amerika.

Dan tahukah anda? sebenarnya laksam ana Zheng He atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama laksamana Cheng Ho adalah penemu benua amerika pertama, sekitar 70 tahun sebelum Columbus.

Sekitar 70 tahun sebelum Columbus menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke sana. Para peserta seminar yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London beberapa waktu lalu dibuat terperangah. Adalah seorang ahli kapal selam dan sejarawan bernama Gavin Menzies dengan paparannya dan lantas mendapat perhatian besar.

Tampil penuh percaya diri, Menzies menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut mahsyur asal Cina, Laksamana Zheng He (kita mengenalnya dengan Ceng Ho-red). Bersama bukti-bukti yang ditemukan dari catatan sejarah, dia lantas berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator ulung dari masa dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, danbukannya Columbus.

Bahkan menurutnya, Zheng He 'mengalahkan' Columbus dengan rentang waktu sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan lantaran masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si penemu benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini dikuatkan dengan sejumlah bukti sejarah. Adalah sebuah peta buatan masa sebelum Columbus memulai ekspedisinya lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Zheng He yang dosodorkannya sebagai barang bukti itu. Menzies menjadi sangat yakin setelah meneliti akurasi benda-benda bersejarah itu.

''Laksana inilah yang semestinya dianugerahi gelar sebagai penemu pertama benua Amerika,'' ujarnya. Menzies melakukan kajian selama lebih dari 14 tahun. Ini termasuk penelitian peta-peta kuno, bukti artefak dan juga pengembangan dari teknologi astronomi modern seperti melalui program software Starry Night.

Dari bukti-bukti kunci yang bisa mengubah alur sejarah ini, Menzies mengatakan bahwa sebagian besar peta maupun tulisan navigasi Cina kuno bersumber pada masa pelayaran Laksamana Zheng He. Penjelajahannya hingga mencapai benua Amerika mengambil waktu antara tahun 1421 dan 1423. Sebelumnya armada kapal Zheng He berlayar menyusuri jalur selatan melewati Afrika dan sampai ke Amerika Selatan.

Uraian astronomi pelayaran Zheng He kira-kira menyebut, pada larut malam saat terlihat bintang selatan sekitar tanggal 18 Maret 1421, lokasi berada di ujung selatan Amerika Selatan. Hal tersebut kemudian direkonstruksi ulang menggunakan software Starry Night dengan membandingkan peta pelayaran Zheng He.

"Saya memprogram Starry Night hingga masa di tahun 1421 serta bagian dunia yang diperkirakan pernah dilayari ekspedisi tersebut," ungkap Menzies yang juga ahli navigasi dan mantan komandan kapal selam angkatan laut Inggris ini. Dari sini, dia akhirnya menemukan dua lokasi berbeda dari pelayaran ini berkat catatan astronomi (bintang) ekspedisi Zheng He.

Lantas terjadi pergerakan pada bintang-bintang ini, sesuai perputaran serta orientasi bumi di angkasa. Akibat perputaran bumi yang kurang sempurna membuat sumbu bumi seolah mengukir lingkaran di angkasa setiap 26 ribu tahun. Fenomena ini, yang disebut presisi, berarti tiap titik kutub membidik bintang berbeda selama waktu berjalan. Menzies menggunakan software untuk merekonstruksi posisi bintang-bintang seperti pada masa tahun 1421.

"Kita sudah memiliki peta bintang Cina kuno namun masih membutuhkan penanggalan petanya," kata Menzies. Saat sedang bingung memikirkan masalah ini, tiba-tiba ditemukanlah pemecahannya. "Dengan kemujuran luar biasa, salah satu dari tujuan yang mereka lalui, yakni antara Sumatra dan Dondra Head, Srilanka, mengarah ke barat."

Bagian dari pelayaran tersebut rupanya sangat dekat dengan garis katulistiwa di Samudera Hindia. Adapun Polaris, sang bintang utara, dan bintang selatan Canopus, yang dekat dengan lintang kutub selatan, tercantum dalam peta. "Dari situ, kita berhasil menentukan arah dan letak Polaris. Sehingga selanjutnya kita bisa memastikan masa dari peta itu yakni tahun 1421, plus dan minus 30 tahun."

Atas temuan tersebut, Phillip Sadler, pakar navigasi dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, mengatakan perkiraan dengan menggunakan peta kuno berdasarkan posisi bintang amatlah dimungkinkan. Dia juga sepakat bahwa estimasi waktu 30 tahun, seperti dalam pandangan Menzies, juga masuk akal.

Selama ini, masyarakat dunia mengetahui kiprah Zheng He sebagai penjelajah ulung. Dia terlahir di Kunyang, kota yang berada di sebelah barat daya Propinsi Yunan, pada tahun 1371. Keluarganya yang bernama Ma, adalah bagian dari warga minoritas Semur. Mereka berasal dari kawasan Asia Tengah serta menganut agama Islam. Ayah dan kakek Zheng He diketahui pernah mengadakan perjalanan haji ke Tanah Suci Makkah. Sementara Zheng He sendiri tumbuh besar dengan banyak mengadakan perjalanan ke sejumlah wilayah. Ia adalah Muslim yang taat.

Yunan adalah salah satu wilayah terakhir pertahanan bangsa Mongol, yang sudah ada jauh sebelum masa dinasti Ming. Pada saat pasukan Ming menguasai Yunan tahun 1382, Zheng He turut ditawan dan dibawa ke Nanjing. Ketika itu dia masih berusia 11 tahun. Zheng He pun dijadikan sebagai pelayan putra mahkota yang nantinya menjadi kaisar bernama Yong Le. Nah kaisar inilah yang memberi nama Zheng He hingga akhirnya dia menjadi salah satu panglima laut paling termashyur di dunia.(Early Tokyo/sbl)

sumber : http://howto-bagaimana.blogspot.com