Seperti yang telah sedikit disinggung di atas, bahwa ketika perasaan simpati, sayang, cinta or apalah namanya muncul, maka menyandarkan cinta itu ke dermaga pernikahan adalah solusi yang cerdas dan tepat. Karena saya rasa tidak ada hal lain yang begitu efektif dan efisien -meminjam istilah manajemen- selain menikah, meski dalam sebuah hadits, Rasulullah pun juga memberikan alternatif lain untuk puasa. Namun persoalannya siapakah yang mampu untuk terus menerus berpuasa?
“Lalu, bukankah menikah juga adalah hal yang tidak sederhana? Butuh kesiapan finansial dan kemampuan memberikan nafkah? Sementara bagi mereka yang jatuh cinta tersebut di atas sebagiannya belum memiliki itu semua?”
Maka, melupakan dan mengubur perasaan itu dalam-dalam adalah suatu kewajiban. Karena bagaimanapun juga dan diatasnamakan apapun, kedudukan cinta yang kayak gitu tetap belum halal selama belum menikah. Jangan sampai justru sebaliknya, dengan dalih cinta akhirnya malah tetap melanjutkan ke hubungan yang haram dan terlarang, karena hal itu tentu adalah sebuah tindakan yang nekad, salah, bodoh dan merusak.
“Tapi, saya tidak tega untuk mengakhirinya? Saya khawatir akan menyakitinya, membuatnya menangis dan akhirnya berbuat zhalim kepadanya?”
Ya ikhwah, bagaimana mungkin anda -yang paham agama- takut menyakiti seseorang, membuat menangis atau bahkan berbuat zhalim kepada manusia, sementara secara bersamaan hal yang anda lakukan itu justru perbuatan zhalim kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang menciptakan kalian berdua? Bukankah hak Allah lebih wajib untuk kita penuhi daripada hak manusia? Bukankah adzab Allah lebih kita takuti daripada sekadar tangisan manusia. Di manakah posisi iman anda saat itu? Apalagi jika ternyata anda lebih memilih untuk mendahulukan cinta kepadanya ketimbang cinta kepada-Nya? Wal iyadzubillah…
Sebuah Nasihat yang Selayaknya Kita Renungkan
Ada sebuah ungkapan dan permisalah yang menarik, bijak, dan menyejukkan yang ditulis oleh al-Ustadz Abu Umar Basyir hafizhahullah dalam bukunya Sutra Cinta, yang semoga bisa menjadi cemeti yang akan menyadarkan kesalahan ini. Di mana dalam buku tersebut beliau berkata :
“Persoalannya, bagaimanakah bila rasa cinta itu muncul jauh-jauh hari sebelum terbersit rencana pernikahan? Seorang pemuda yang jatuh cinta kepada gadis tetangganya? Atau seorang pelajar atau siswa yang tertarik dan menaruh hati pada teman sekolahnya?
Bila ketertarikan itu muncul secara wajar, bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan, sekali lagi, bila cinta itu dilampiaskan dengan cara yang haram. Satu-satunya cara yang halal untuk melampiaskan cinta tersebut hanyalah dengan menikah. Kalau belum mampu menikah, tidak ada satu carapun yang bisa menyelesaikan kasus penyakit cinta tersebut. Ia justru harus memeranginya, bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan di luar aturan syari’at. Sebagai analoginya, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa lapar pun kita, meski makanan itu halal, namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan Ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidak berpuasa. Artinya, bila tiba saat berbuka dan Allah menakdirkan kita tetap bisa menyantap makanan itu, alhamdulillah. Namun bila tidak, ya tidak apa-apa.
Bila rasa cinta itu masih menggeeliat di hati seseorang, sementara ia belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itu tidak boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat, dan bepergian bersama-sama adalah haram. Dan sebenarnya cinta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, dan bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu, bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya bila dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telah memiliki nafsu untuk berbuat kezhaliman, berbuat haram, dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Cobalah simak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Jangan melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa disengaja) adalah mubah, tapi yang kedua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, “Palingkan pandanganmu dari wanita itu.”
Maka, jelas seorang muslim atau muslimah dilarang saling melihat lawan jenisnya untuk mengobrol berlama-lama, apalagi bila di hati mereka sudah tertanam rasa saling menyukai, yang menyebabkan pandangan bukan hanya berulang dua kali, tapi puluhan atau bahkan ratusan kali. Nah, berapa banyak dosa yang dia tumpuk selama mengobrol dengannya?”
- Sekian uraian ust. Abu Umar Basyir hafizhahullah -
Sekadar Pengingat Saja
Mungkin apa yang saya tulis di atas cenderung skeptis. Seolah saya adalah orang yang tidak pernah merasakan cinta, tidak pernah jatuh cinta, atau bahkan selalu mendapatkan yang namanya kegagalan cinta. Seolah mengambarkan saya adalah orang yang kaku, anti cinta dan nggak punya rasa kasih sayang.
Namun justru sebaliknya, saya adalah orang yang normal, pernah merasakan apa itu cinta, jatuh cinta dan kegagalan cinta. Saya juga bukan seorang yang kaku apalagi anti cinta dan nggak punya kasih sayang. Karena disadari atau tidak, apa yang saya tulis ini merupakan bentuk lain dari rasa cinta dan kasih sayang saya. Meski seolah terlihat seperti sebuah hal yang tampak berlawanan. Kesalahan-kesalahan saya di masa lalu itu membuat saya tidak ingin melihat ada sahabat dan saudara seagama lainnya yang terjatuh pada lubang yang sama.
Kesalahan-kesalahan yang muncul akibat kebodohan saya waktu itu, yang alhamdulillah Allah meyelamatkan saya sebelum akhirnya mendapatkan dan merasakan cinta yang sejati. Karena seorang muslim yang hakiki itu bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun adalah orang yang ketika terjatuh dalam kesalahan segera bertaubat kembali kepada-Nya.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya juga teringat sebuah perkataan salah seorang teman akhwat di UI, di mana beliau hafizhahullah pernah mengingatkan saya ketika itu yang kurang lebih maknanya, “Jangan pernah menyirami bunga itu, atau ia akan terus tumbuh.” Maksudnya, jangan pernah menyiram dan memelihara cinta itu, jika tidak ingin ia tumbuh dan terus tumbuh. Atau dengan kata lain, bunuh dan redamlah cinta itu jika engkau belum sanggup untuk menikahinya.
Semoga apa yang saya tulis di atas, bisa menjadi cerminan tingkah laku dan perbuatan kita selama ini dalam memahami dan memaknai cinta itu sendiri. Pun bisa menjadi pengingat di kala lupa serta penanda di kala terlelap. Semoga Allah senantiasa membimbing kita di atas kebenaran dan memalingkan kita dari segala maksiat dan keburukan. Dan Rabbku Maha Mengabulkan Do’a…
sumber : sobat-muda.com