Pernahkan Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang ulat bulu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat ini ternyata tak lama. Pada suatu saat nanti ia akan mengalami fase dimana ia harus masulk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud lain : ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu yg sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian siapa yg tak menyukai kupu-kupu dgn sayap yg beraneka hiasan indah alami? Sebagian orang bahkan mungkin mencari dan kemudian mengoleksi bagi sebagai hobi ataupun utk keperluan ilmu pengetahuan.
Semua proses itu memperlihatkan tanda-tanda Kemahabesaran Alloh. Menandakan betapa teramat mudah bagi Alloh Azza wa Jalla mengubah segala sesuatu dari hal yg menjijikkan buruk dan tak disukai menjadi sesuatu yg indah dan membuat orang senang memandangnya. Semua itu berjalan melalui suatu proses perubahan yang sudah diatur dan aturan pun ditentukan oleh Alloh baik dalam bentuk aturan atau hukum alam maupun berdasarkan hukum yg disyariatkan kepada manusia yakin Al Qur’an dan Al Hadits.
Jika proses metamorfosa pada ulat ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yg jauh lbh indah momen yg paling tepat utk terlahir kembali adalah ketika memasuki Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam ‘kepompong’ Ramadhan lalu segala aktivitas kita cocok dgn ketentuan-ketentuan “metamorfosa” dari Alloh niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan yakni manusia yg berderajat muttaqin yg memiliki akhlak yang indah dan mempesona.
Inti dari badah Ramadhan ternyata adl melatih diri agar kita dapat menguasai hawa nafsu. Allah SWT berfirman “Dan adapun orang-orang yg takut kepada kebesaran Tuhan dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh syurgalah tempat tinggalnya.” .
Selama ini mungkin kita merasa kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu. Kenapa? Karena selama ini pada diri kita terdapat pelatihan lain yg ikut membina hawa nafsu kita ke arah yang tak disukai Allah. Siapakah pelatih itu? Dialah syetan laknatullah yg sangat aktif mengarahkan hawa nafsu kita. Akan tetapi memang itulah tugas syetan. apalagi seperti halnya hawa nafsu syetan pun memiliki dimensi yg sama dengan hawa nafsu yakni kedua-duanya sama-sama tak terlihat. “Sesungguh syetan itu adalah musuh yg nyata bagimu maka anggaplah ia sebagai musuhmu karena syetan itu hanya mengajak golongan supaya menjadi penghuni neraka yg menyala-nyala” demikian firman Allah dalam QS. Al Fathir (25) : 6}.
Akan tetapi kita bersyukur krn pada bulan Ramadhan ini Allah mengikat erat syetan terkutuk sehingga kita diberi kesempatan sepenuh utk bisa melatih diri mengendalikan hawa nafsu kita. Karena kesempatan seperti ini tak boleh kita sia-siakan. Ibadah shaum kita harus ditingkatkan. Tidak hanya shaum atau menahan diri dari hawa nafsu perut dan seksual saja akan tetapi juga semua anggota badan kita lain agar mau melaksanakan amalan yg disukai Allah. Jika hawa nafsu sudah bisa kita kendalikan maka ketika syetan dipelas kembali mereka sudah tunduk pada keinginan kita. Dengan demikian hidup kita pun sepenuh dapat dijalani dengan hawa nafsu yg berada dalam keridhaan-Nya. Inilah pangkal kebahagiaan dunia akhirat. Hal lain yg paling utama harus kita jaga juga dalam bulan yg sarat dgn berkah ini adalah akhlak. Barang siapa membaguskan akhlak pada bulan Ramadhan Allah akan menyelamatkan dia tatkala melewati shirah di mana banyak kaki tergelincir demikianlah sabda Rasulullah SAW.
Pada bulan Ramadhan ini kita dianggap sebagai tamu Allah. Dan sebagai tuan rumah Allah sangat mengetahui bagaimana cara memperlakukan tamu-tamu dgn baik. Akan tetapi sesungguh Allah hanya akan memperlakukan kita dgn baik jika kita tahu adab dan bagaimana berakhlak sebagai tamu-Nya. Salah satu yakni dgn menjaga shaum kita sesempurna mungkin. Tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga belaka tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh kita ikut shaum.
Mari kita perbaiki segala kekurangan dan kelalaian akhlak kita sebagai tamu Allah krn tak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir yg dijalani hidup kita jangan sampai disia-siakan.
Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah ‘kepompong’ Ramadhan ini kita masuki kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yg baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yg keluar menjadi seekor kupu-kupu yg teramat indah dan mempesona amiin.**
sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym
Rabu, 11 Agustus 2010
Minggu, 01 Agustus 2010
Larangan Keras Meninggalkan Shalat Dengan Sengaja
Allah SWT berfirman, "Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan," (Maryam: 59).
Allah juga berfirman, "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna," (Al-Maa'uun: 4-7).
Diriwayatkan dari Jabir bin 'Abdillali r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, ‘Batas pemisah antara seorang hamba dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat’," (HR Muslim [82]).
Diriwayatkan dari Buraidah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir," (HR Tirmidzi [2621], an-Nasa’i [1/231-232], Ibnu Majah [1079], Ahmad [V/346 dan 355], Ibnu Hibban [1454] dan al-Hakim [1/7]).
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Syaqiq r.a, ia berkata, "Menurut para Sahabat r.a, tidak ada amal yang membuat kafir orang yang meninggalkan amal itu selain shalat," (Atsar shahih, HR Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab Atsar shahih, dikeluarkan oleh Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab [948] dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [Xl/49]).
Kandungan Bab:
1. Al-Baghawi berkata dalam Syarbus Sunnah (11/179-180), "Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang hukuman kafir terhadap orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib..."
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/369), "Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat merupakan perkara yang dapat membuat pelakunya kafir. Kaum Miislimin menyepakati hukum kafir atas siapa saja yang meninggalkan shalat karena (ia) mengingkari hukum wajibnya, kecuali orang yang baru saja masuk Islam atau orang yang tidak hidup di tengah kaum Muslimin yang menyampaikan kepadanya tentang kewajiban shalat. Jika ia meninggalkannya karena malas, namun masih meyakini hukum wajibnya, seperti keadaan mayoritas kaum Muslimin, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat…"
2. Dari uraian di atas jelaslah:
1. Para ulama sepakat atas kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya dan mengolok-oloknya.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya, atau karena menganggapnya tidak penting, atau karena menganggap boleh meninggalkannya.
3. Jumhur ahli ilmu berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak jatuh kafir.
3. Mereka mengartikan kata kufur dalam hadits-hadits tersebut sebagai peringatan dan ancaman keras. Dalilnya adalah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh 'Ubadah bin ash-Shamit r.a, "Shalat lima waktu yang telah Allah wajibkan atas manusia, barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya karena meremehkannya, maka baginya perjanjian di sisi Allah, yakni Allah akan memasukkannya ke dalam Surga. Barangsiapa tidak mengerjakannya, maka tidak ada perjanjian baginya di sisi Allah. Jika mau, Allah akan mengadzabnya, dan jika mau, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Surga," (HR Abu Dawud [1420], an-Nasa’i [I/230], Ibnu Majah [1401], Ahmad [V/315-316 dan 319], Malik [I/123], Abdurrazzaq [4575], Ibnu Abi Syaibah [II/296], ad-Dariini [I/370], al-Humaidi [388], al-Baghawi [977], IbnuHibban [2417], al-Baihaqi [/361], [II/8] dan [467], [X/2l7]).
Nash-nash berisi ancaman seluruhnya masih termasuk kategori perkara yang berada di bawah kehendak Allah SWT. Di antaranya adalah nash tentang ancaman atas orang yang meninggalkan shalat, seperti yang anda lihat sendiri. Kembali kepada kehendak Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau mengadzabnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, “Barangsiapa yang Allah janjikan baginya pahala atas sebuah amalan, rnaka Allah pasti memberikan pahala itu kepadanya. Dan barangsiapa yang Allah beri ancaman berupa siksa atas sebuah dosa, maka keputusan-nya kembali kepada kehendak-Nya." (Hasan lighairihi, Abu Yala (3316) dan Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah (960).
Itulah yang ditegaskan oleh Imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal, dalam wasiatnya kepada Musaddad bin Musarhad yang disebutkan dalam kitab Thabaqaatul Hanaabilah [1/343], "Tidak ada perkara yang dapat mengeluarkan seorang Muslim dari keislamannya kecuali syirik kepada Allah atau mengingkari kewajiban yang Allah tetapkan. Jika ia meninggalkan kewajiban tersebut karena malas atau menganggapnya remeh, maka keputusannya terserah pada kehendak Allah, apakah Dia akan mengadzabnya atau meng-ampuninya."
Putera beliau, yakni 'Abdullah, telah bertanya kepada beliau dalam Masaa’ilnya (191 dan 192) tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat. Beliau menjawab, "Diriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda, '(Pemisah) antara seorang hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat’."
Ayahku berkata, "Orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengerjakannya atau orang yang mengerjakannya di luar waktuiya, maka seretlah ia ke pengadilan. Jika ia tetap tidak mau mengerjakannya, maka penggallah lehernya. Menurutku, kedudukannya adalah murtad setelah diminta agar ia bertaubat sebanyak tiga kali. Jika ia tidak mau bertaubat, maka bunuhlah ia berdasarkan hadits 'Umar r.a."
Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat 'Ashar hingga terbenam matahari. Beliau berkata, "Perintahkanlah dia shalat, jika setelah diperintahkan sebanyak tiga kali tidak mau juga, maka penggallah lehernya."
'Abdullah bin Ahmad berkata dalam Masaa’ilnya (195), "Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang melalaikan shalat selama dua bulan. Beliau berkata, 'Dia harus mengganti shalat-shalat tersebut pada waktunya masing-masing. Hendaklah ia kerjakan qadha' shalat yang ia tinggalkan tersebut hingga akhir waktnnya. la harus mengganti shalat-shalat yang dikhawatirkan terluput itu. Dan janganlah ia melalaikannya di lain waktu.
Kemudian ia kembali mengerjakan qadha' shalat yang belum terqadha', kecuali bila ia harus mencari nafkah dan tidak mampu mengerjakan qadha' shalat tersebut. Jikalau demikian, hendaklah ia mencari orang untuk mencukupi nafkahnya sehingga ia bisa mengganti shalat-shalat yang terluput itu. Dan tidak sah shalatnya selama masih ada shalat terdahulu yang belum diqadha'. Jika demikian, ia harus mengulanginya kapan ia teringat, walaupun ia sedang me-ngerjakan shalat’."
Ini merupakan nash yang dapat dipertanggungjawabkan dari Imam Ahmad, menurut beliau orang yang meninggalkan shalat tanpa sebab tidak dapat dihukumi kafir. Namun, bila ia menolak mengerjakannya setelah ia mengetahui hujjahnya, maka ia boleh dihukum mati. Yaitu setelah ia diseret ke pengadilan. Dan yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Mardawi dalam kitab al-Inshaaffii Ma'rifatir Raajih minal Khilaaf 'alaa Madzkab al-lmam Ahmad bin Hanbal (1/402), beliau berkata, "Orang yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya. Sekiranya ia meninggalkan banyak shalat sebelum diseret ke pengadilan, maka tidaklah boleh membunulinya dan tidak boleh dihukumi kafir menurut pendapat yang benar dalam madzhab (yakni madzhab Hanbali-ed.). Pendapat itulah yang dipilih oleh mayoritas rekan kami. Bahkan, sebagian besar dari mereka menegaskan pendapat tersebut."
Oleh sebab itu, al-Majd bin Taimiyyah menegaskan dalam kitab al Muharrar fil Fiqh al-Hanbali (halaman 62), "Barangsiapa melalaikan shalat karena malas, bukan karena mengingkari kewajibannya, maka ia harus dipaksa mengerjakannya. Jika setelah dipaksa ia tidak mau juga hingga keluar waktunya, maka ia boleh dihukum mati.
Ia tidak dihukumi kafir karena melalaikannya hingga keluar waktu, namun ia dihukum mati karena sikap bersikerasnya yang menunjukkan ia mengingkari kewajibannya, sedang ia mengetahuinya dan ia tetap tidak mau mengerjakannya. Sebabnya adalah, ia lebih memilih dihukum mati daripada mengerjakan shalat. Maka dalam kondisi seperti itu tidak mungkin lagi dikata-kan ia malas atau melalaikannya, namun ia termasuk orang yang mengingkari kewajibannya dan lebih memilih kekufuran dan kemunafikan. Karena itu, ia berhak dihukum mati sebagai balasan yang setimpal."
Inilah pendapat yang dipilih oleh ulama ahli tahqiq madzhab Hanbali, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata, "Jika ia meninggalkan salah satu dari shalat fardhu karena malas, maka ia belum dapat dihukumi kafir."
Demikian pula dalam kitab al-Muqni'. Dalam kitab al-Mughni (11/298-302) masalah ini diulas panjang lebar, di akhir pembahasan, penulis menyimpulkan, "Dan juga karena ijma' kaum Muslimin dalam masalah ini; Belum kami ketahui, dahulu sampai sekarang, seorang pun yang menolak memandikan dan menshalatkan jenazah orang yang meninggalkan shalat serta menguburkannya di perkuburan kaum Muslimin, Tidak seorang pun yang menghalangi ahli warisnya dari mewarisi hartanya atau menghalanginya dari mewarisi harta ahli warisnya. Tidak ada seorang pun yang memisahkannya dari isterinya karena ia meninggalkan shalat, padahal banyak sekali orang yang meninggalkan shalat. Sekiranya orang yang meninggalkan shalat dihukumi kafir, tentu hukum-hukum tersebut berlaku atas dirinya. Kami belum mendapati perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin bahwa orang yang meninggalkan shalat wajib mengqadha’nya. Sekiranya ia dihukumi murtad, tentu tidak perlu lagi mengqadha’ shalat atau puasa.
Berkenaan dengan hadits-hadits di atas, maksudnya adalah peringatan keras agar tidak sama seperti orang-orang kafir, bukan bermaksud bahwa mereka benar-benar kafir. Contohnya sabda Nabi saw, "Mencela orang Muslim adalah perbuatan fasik dan menumpahkan darahnya adalah kekufuran."
Sabda Nabi saw, "Kafir kepada, Allah orang yang mengingkari nasabnya meskipun halus."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka salah seorang dari keduanya telah pantas (berhak) menyandang predikat tersebut."
Sabda Nabi saw., "Barangsiapa menyetubuhi isterinya yang sedang haidh atau menyetubuhi-nya pada duburnya, inaka ia telah kafir kepada ajaran yang diturunkan kepada Muhammad saw.”
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan, ‘Hujan turun karena bintang ini,’ maka ia telah kafir kepada Allah dan beriman kepada bintang-bintang."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat syirik."
Sabda Nabi saw, "Peminum khamr seperti penyembah berhala."
Dan hadits-hadits senada dengan itu yang maksudnya adalah peringatan keras. Itulah pendapat yang paling tepat, wallaahu a'lam"
Adapun Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab, beliau menjawab pertanyaan tentang perkara-perkara yang dapat membuat seseorang dihukumi kafir dan boleh dibunuh, seperti dinukil dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah (1/70) sebagai berikut, "Rukun Islam ada lima; pertama adalah mengucap dua kalimat syahadat. Setelah itu, empat rukun berikutnya (yakni shalat, zakat, puasa dan haji). Jika ia telah mengakuinya namun ia meninggalkannya karena malas, maka meskipun kita boleh memeranginya karena perbuatannya tersebut, yang jelas/ pasti kita tidak menghukuminya kafir. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya. Kita tidak boleh menghukuminya kafir kecuali dengan mengingkari perkara yang sudah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu syahadatain."
4. Meskipun perkara ini menimbulkan kontroversi yang sangat tajam, maksudnya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan lalai, karena ketiadaan sikap tegas penguasa kaum Muslimin dalam menghukum pelakunya, namun yang jelas kaum Muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat fardhu karena malas atau lalai merupakan dosa besar. Dosanya lebih berat daripada dosa membunuh, dosa mengambil harta orang lain tanpa hak dan dosa-dosa lainnya. Pelakunya berhak mendapat siksa dan murka Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat. Dan juga dapat menyeretnya kepada kemurtadan dan terpisah dari kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, kita memohon keselamatan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kelak. Dalam hal ini, para penguasa kaum Muslimin hendaklah menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang meninggalkan shalat. Karena Allah memberikan anjuran mdalui sulthan (penguasa) sebagaimana Allah memberikan anjuran melalui Al-Qur’an.
5. Guru kami, Syaikh Abu 'Abdirrahman al-Albani berkata dalam kitab ash'Shahiihah (1/177-178), "Di sini ada sebuah faidah, aku lihat sangat sedikit orang yang memperhatikannya atau mengingatkannya. Maka dari itu, wajib dijelaskan dan diterangkan, aku katakan, 'Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat karena malas masih dihukumi Muslim selama tidak ada bukti atau indikasi yang dapat menyingkap isi hatinya, lalu ia mati sebelum diminta bertaubat. Sebagaimana halnya yang terjadi di zaman sekarang ini. Adapun bila diberikan pilihan antara dibunuh atau bertaubat kembali mengerjakan dan menjaga shalat, lalu ia memilih dibunuh lalu dijalankan hukum bunuh atasnya, maka dalam kondisi seperti ini, ia mati dalam keadaan kafir. Jenazahnya tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan tidak berlaku atasnya hukum-hukum jenazah kaum Muslimin (seperti dimandikan dan dishalatkan). Berbeda halnya dengan apa yang disebutkan dari as-Sakhawi tadi. Sebab, tidak masuk akal, jika ia lebih memilih dibunuh karena meninggalkan shalat -sementara ia tidak mengingkari kewajiban shalat dalam hatinya-. Hal tersebut sangat mustahil dan tentu sudah dapat memakluminya dari tabi'at manusia itu sendiri. Tidak perlu dalil untuk membuktikannya’."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (11/48), "Apabila seseorang menolak mengerjakan shalat hingga ia dibunuh dan secara bathin tidak mengakui hukum wajibnya serta tidak juga mengerjakannya, maka ia dihukumi kafir berdasarkan ijma' kaum Muslimin. Banyak sekali pe-nukilan dari Sahabat r.a. yang menyatakan demikian. Dan juga berdasarkan nash-nash yang shahih. Barangsiapa bersikeras meninggalkannya hingga ia mati, tidak pernah sujud (meski) sekalipun kepada Allah, ia tidak termasuk Muslim yang mengakui kewajiban shalat. Keyakinan bahwa shalat adalah wajib dan keyakinan bahwa siapa saja yang meninggalkannya boleh dibunuh, sebenar-nya sudah cukup mendorongnya untuk mengerjakannya. la tentu mengerjakan shalat bila memiliki keyakinan ini disertai dengan kemampuan mengerjakannya. Jika ia tidak mengerjakannya padahal ia mampu, maka itu menunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak ada padanya."
Saya katakan, "Ini merupakan intisari dan kesimpulan pembahasan. Wallaahu Waliyyut taufiiq."
6. Lalai yang disebutkan dalam ancaman adalah keteledoran dan kesibukan yang membuatnya melewatkan waktu shalat. Sebagaimana dijelaskan oleh Sa'ad bin Abi Waqqash r.a.
Diriwayatkan dari Mush'ab bin Sa'ad, ia berkata, "Aku bertanya kepada ayahku, 'Wahai ayahanda, apa maksud firman Allah, ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.' (Al-Maa'uun: 5).
Siapakah di antara kita yang tidak pernah lalai? Siapakah di antara kita yang tidak pernah tersilap?’
Sa'ad menjawab, 'Bukan itu maksudnya, lalai yang dimaksud adalah melalaikan waktunya. la bermain-main hingga melalaikan waktu shalat’," (Hasan, HR Abu Ya'la [704], ath-Thabari dalam Jaami'ul Bayaan [XXX/311] dan al-Baihaqi [11/214], ath-Thabari [XX/311], al-Bazzar [392] dan al-Baihaqi [11/214]).
Adapun lupa, kesibukan tanpa disengaja dan tidur, tidak termasuk di dalamnya. Siapa yang tertidur atau terlupa, hendaklah ia mengerjakan shalat kapan ia ingat. Sebab, itulah waktu shalat baginya sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam hadits shahih.
sumber : Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/335-343.
Allah juga berfirman, "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna," (Al-Maa'uun: 4-7).
Diriwayatkan dari Jabir bin 'Abdillali r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, ‘Batas pemisah antara seorang hamba dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat’," (HR Muslim [82]).
Diriwayatkan dari Buraidah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir," (HR Tirmidzi [2621], an-Nasa’i [1/231-232], Ibnu Majah [1079], Ahmad [V/346 dan 355], Ibnu Hibban [1454] dan al-Hakim [1/7]).
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Syaqiq r.a, ia berkata, "Menurut para Sahabat r.a, tidak ada amal yang membuat kafir orang yang meninggalkan amal itu selain shalat," (Atsar shahih, HR Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab Atsar shahih, dikeluarkan oleh Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab [948] dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [Xl/49]).
Kandungan Bab:
1. Al-Baghawi berkata dalam Syarbus Sunnah (11/179-180), "Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang hukuman kafir terhadap orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib..."
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/369), "Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat merupakan perkara yang dapat membuat pelakunya kafir. Kaum Miislimin menyepakati hukum kafir atas siapa saja yang meninggalkan shalat karena (ia) mengingkari hukum wajibnya, kecuali orang yang baru saja masuk Islam atau orang yang tidak hidup di tengah kaum Muslimin yang menyampaikan kepadanya tentang kewajiban shalat. Jika ia meninggalkannya karena malas, namun masih meyakini hukum wajibnya, seperti keadaan mayoritas kaum Muslimin, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat…"
2. Dari uraian di atas jelaslah:
1. Para ulama sepakat atas kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya dan mengolok-oloknya.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya, atau karena menganggapnya tidak penting, atau karena menganggap boleh meninggalkannya.
3. Jumhur ahli ilmu berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak jatuh kafir.
3. Mereka mengartikan kata kufur dalam hadits-hadits tersebut sebagai peringatan dan ancaman keras. Dalilnya adalah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh 'Ubadah bin ash-Shamit r.a, "Shalat lima waktu yang telah Allah wajibkan atas manusia, barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya karena meremehkannya, maka baginya perjanjian di sisi Allah, yakni Allah akan memasukkannya ke dalam Surga. Barangsiapa tidak mengerjakannya, maka tidak ada perjanjian baginya di sisi Allah. Jika mau, Allah akan mengadzabnya, dan jika mau, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Surga," (HR Abu Dawud [1420], an-Nasa’i [I/230], Ibnu Majah [1401], Ahmad [V/315-316 dan 319], Malik [I/123], Abdurrazzaq [4575], Ibnu Abi Syaibah [II/296], ad-Dariini [I/370], al-Humaidi [388], al-Baghawi [977], IbnuHibban [2417], al-Baihaqi [/361], [II/8] dan [467], [X/2l7]).
Nash-nash berisi ancaman seluruhnya masih termasuk kategori perkara yang berada di bawah kehendak Allah SWT. Di antaranya adalah nash tentang ancaman atas orang yang meninggalkan shalat, seperti yang anda lihat sendiri. Kembali kepada kehendak Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau mengadzabnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, “Barangsiapa yang Allah janjikan baginya pahala atas sebuah amalan, rnaka Allah pasti memberikan pahala itu kepadanya. Dan barangsiapa yang Allah beri ancaman berupa siksa atas sebuah dosa, maka keputusan-nya kembali kepada kehendak-Nya." (Hasan lighairihi, Abu Yala (3316) dan Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah (960).
Itulah yang ditegaskan oleh Imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal, dalam wasiatnya kepada Musaddad bin Musarhad yang disebutkan dalam kitab Thabaqaatul Hanaabilah [1/343], "Tidak ada perkara yang dapat mengeluarkan seorang Muslim dari keislamannya kecuali syirik kepada Allah atau mengingkari kewajiban yang Allah tetapkan. Jika ia meninggalkan kewajiban tersebut karena malas atau menganggapnya remeh, maka keputusannya terserah pada kehendak Allah, apakah Dia akan mengadzabnya atau meng-ampuninya."
Putera beliau, yakni 'Abdullah, telah bertanya kepada beliau dalam Masaa’ilnya (191 dan 192) tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat. Beliau menjawab, "Diriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda, '(Pemisah) antara seorang hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat’."
Ayahku berkata, "Orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengerjakannya atau orang yang mengerjakannya di luar waktuiya, maka seretlah ia ke pengadilan. Jika ia tetap tidak mau mengerjakannya, maka penggallah lehernya. Menurutku, kedudukannya adalah murtad setelah diminta agar ia bertaubat sebanyak tiga kali. Jika ia tidak mau bertaubat, maka bunuhlah ia berdasarkan hadits 'Umar r.a."
Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat 'Ashar hingga terbenam matahari. Beliau berkata, "Perintahkanlah dia shalat, jika setelah diperintahkan sebanyak tiga kali tidak mau juga, maka penggallah lehernya."
'Abdullah bin Ahmad berkata dalam Masaa’ilnya (195), "Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang melalaikan shalat selama dua bulan. Beliau berkata, 'Dia harus mengganti shalat-shalat tersebut pada waktunya masing-masing. Hendaklah ia kerjakan qadha' shalat yang ia tinggalkan tersebut hingga akhir waktnnya. la harus mengganti shalat-shalat yang dikhawatirkan terluput itu. Dan janganlah ia melalaikannya di lain waktu.
Kemudian ia kembali mengerjakan qadha' shalat yang belum terqadha', kecuali bila ia harus mencari nafkah dan tidak mampu mengerjakan qadha' shalat tersebut. Jikalau demikian, hendaklah ia mencari orang untuk mencukupi nafkahnya sehingga ia bisa mengganti shalat-shalat yang terluput itu. Dan tidak sah shalatnya selama masih ada shalat terdahulu yang belum diqadha'. Jika demikian, ia harus mengulanginya kapan ia teringat, walaupun ia sedang me-ngerjakan shalat’."
Ini merupakan nash yang dapat dipertanggungjawabkan dari Imam Ahmad, menurut beliau orang yang meninggalkan shalat tanpa sebab tidak dapat dihukumi kafir. Namun, bila ia menolak mengerjakannya setelah ia mengetahui hujjahnya, maka ia boleh dihukum mati. Yaitu setelah ia diseret ke pengadilan. Dan yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Mardawi dalam kitab al-Inshaaffii Ma'rifatir Raajih minal Khilaaf 'alaa Madzkab al-lmam Ahmad bin Hanbal (1/402), beliau berkata, "Orang yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya. Sekiranya ia meninggalkan banyak shalat sebelum diseret ke pengadilan, maka tidaklah boleh membunulinya dan tidak boleh dihukumi kafir menurut pendapat yang benar dalam madzhab (yakni madzhab Hanbali-ed.). Pendapat itulah yang dipilih oleh mayoritas rekan kami. Bahkan, sebagian besar dari mereka menegaskan pendapat tersebut."
Oleh sebab itu, al-Majd bin Taimiyyah menegaskan dalam kitab al Muharrar fil Fiqh al-Hanbali (halaman 62), "Barangsiapa melalaikan shalat karena malas, bukan karena mengingkari kewajibannya, maka ia harus dipaksa mengerjakannya. Jika setelah dipaksa ia tidak mau juga hingga keluar waktunya, maka ia boleh dihukum mati.
Ia tidak dihukumi kafir karena melalaikannya hingga keluar waktu, namun ia dihukum mati karena sikap bersikerasnya yang menunjukkan ia mengingkari kewajibannya, sedang ia mengetahuinya dan ia tetap tidak mau mengerjakannya. Sebabnya adalah, ia lebih memilih dihukum mati daripada mengerjakan shalat. Maka dalam kondisi seperti itu tidak mungkin lagi dikata-kan ia malas atau melalaikannya, namun ia termasuk orang yang mengingkari kewajibannya dan lebih memilih kekufuran dan kemunafikan. Karena itu, ia berhak dihukum mati sebagai balasan yang setimpal."
Inilah pendapat yang dipilih oleh ulama ahli tahqiq madzhab Hanbali, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata, "Jika ia meninggalkan salah satu dari shalat fardhu karena malas, maka ia belum dapat dihukumi kafir."
Demikian pula dalam kitab al-Muqni'. Dalam kitab al-Mughni (11/298-302) masalah ini diulas panjang lebar, di akhir pembahasan, penulis menyimpulkan, "Dan juga karena ijma' kaum Muslimin dalam masalah ini; Belum kami ketahui, dahulu sampai sekarang, seorang pun yang menolak memandikan dan menshalatkan jenazah orang yang meninggalkan shalat serta menguburkannya di perkuburan kaum Muslimin, Tidak seorang pun yang menghalangi ahli warisnya dari mewarisi hartanya atau menghalanginya dari mewarisi harta ahli warisnya. Tidak ada seorang pun yang memisahkannya dari isterinya karena ia meninggalkan shalat, padahal banyak sekali orang yang meninggalkan shalat. Sekiranya orang yang meninggalkan shalat dihukumi kafir, tentu hukum-hukum tersebut berlaku atas dirinya. Kami belum mendapati perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin bahwa orang yang meninggalkan shalat wajib mengqadha’nya. Sekiranya ia dihukumi murtad, tentu tidak perlu lagi mengqadha’ shalat atau puasa.
Berkenaan dengan hadits-hadits di atas, maksudnya adalah peringatan keras agar tidak sama seperti orang-orang kafir, bukan bermaksud bahwa mereka benar-benar kafir. Contohnya sabda Nabi saw, "Mencela orang Muslim adalah perbuatan fasik dan menumpahkan darahnya adalah kekufuran."
Sabda Nabi saw, "Kafir kepada, Allah orang yang mengingkari nasabnya meskipun halus."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka salah seorang dari keduanya telah pantas (berhak) menyandang predikat tersebut."
Sabda Nabi saw., "Barangsiapa menyetubuhi isterinya yang sedang haidh atau menyetubuhi-nya pada duburnya, inaka ia telah kafir kepada ajaran yang diturunkan kepada Muhammad saw.”
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan, ‘Hujan turun karena bintang ini,’ maka ia telah kafir kepada Allah dan beriman kepada bintang-bintang."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat syirik."
Sabda Nabi saw, "Peminum khamr seperti penyembah berhala."
Dan hadits-hadits senada dengan itu yang maksudnya adalah peringatan keras. Itulah pendapat yang paling tepat, wallaahu a'lam"
Adapun Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab, beliau menjawab pertanyaan tentang perkara-perkara yang dapat membuat seseorang dihukumi kafir dan boleh dibunuh, seperti dinukil dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah (1/70) sebagai berikut, "Rukun Islam ada lima; pertama adalah mengucap dua kalimat syahadat. Setelah itu, empat rukun berikutnya (yakni shalat, zakat, puasa dan haji). Jika ia telah mengakuinya namun ia meninggalkannya karena malas, maka meskipun kita boleh memeranginya karena perbuatannya tersebut, yang jelas/ pasti kita tidak menghukuminya kafir. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya. Kita tidak boleh menghukuminya kafir kecuali dengan mengingkari perkara yang sudah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu syahadatain."
4. Meskipun perkara ini menimbulkan kontroversi yang sangat tajam, maksudnya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan lalai, karena ketiadaan sikap tegas penguasa kaum Muslimin dalam menghukum pelakunya, namun yang jelas kaum Muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat fardhu karena malas atau lalai merupakan dosa besar. Dosanya lebih berat daripada dosa membunuh, dosa mengambil harta orang lain tanpa hak dan dosa-dosa lainnya. Pelakunya berhak mendapat siksa dan murka Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat. Dan juga dapat menyeretnya kepada kemurtadan dan terpisah dari kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, kita memohon keselamatan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kelak. Dalam hal ini, para penguasa kaum Muslimin hendaklah menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang meninggalkan shalat. Karena Allah memberikan anjuran mdalui sulthan (penguasa) sebagaimana Allah memberikan anjuran melalui Al-Qur’an.
5. Guru kami, Syaikh Abu 'Abdirrahman al-Albani berkata dalam kitab ash'Shahiihah (1/177-178), "Di sini ada sebuah faidah, aku lihat sangat sedikit orang yang memperhatikannya atau mengingatkannya. Maka dari itu, wajib dijelaskan dan diterangkan, aku katakan, 'Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat karena malas masih dihukumi Muslim selama tidak ada bukti atau indikasi yang dapat menyingkap isi hatinya, lalu ia mati sebelum diminta bertaubat. Sebagaimana halnya yang terjadi di zaman sekarang ini. Adapun bila diberikan pilihan antara dibunuh atau bertaubat kembali mengerjakan dan menjaga shalat, lalu ia memilih dibunuh lalu dijalankan hukum bunuh atasnya, maka dalam kondisi seperti ini, ia mati dalam keadaan kafir. Jenazahnya tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan tidak berlaku atasnya hukum-hukum jenazah kaum Muslimin (seperti dimandikan dan dishalatkan). Berbeda halnya dengan apa yang disebutkan dari as-Sakhawi tadi. Sebab, tidak masuk akal, jika ia lebih memilih dibunuh karena meninggalkan shalat -sementara ia tidak mengingkari kewajiban shalat dalam hatinya-. Hal tersebut sangat mustahil dan tentu sudah dapat memakluminya dari tabi'at manusia itu sendiri. Tidak perlu dalil untuk membuktikannya’."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (11/48), "Apabila seseorang menolak mengerjakan shalat hingga ia dibunuh dan secara bathin tidak mengakui hukum wajibnya serta tidak juga mengerjakannya, maka ia dihukumi kafir berdasarkan ijma' kaum Muslimin. Banyak sekali pe-nukilan dari Sahabat r.a. yang menyatakan demikian. Dan juga berdasarkan nash-nash yang shahih. Barangsiapa bersikeras meninggalkannya hingga ia mati, tidak pernah sujud (meski) sekalipun kepada Allah, ia tidak termasuk Muslim yang mengakui kewajiban shalat. Keyakinan bahwa shalat adalah wajib dan keyakinan bahwa siapa saja yang meninggalkannya boleh dibunuh, sebenar-nya sudah cukup mendorongnya untuk mengerjakannya. la tentu mengerjakan shalat bila memiliki keyakinan ini disertai dengan kemampuan mengerjakannya. Jika ia tidak mengerjakannya padahal ia mampu, maka itu menunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak ada padanya."
Saya katakan, "Ini merupakan intisari dan kesimpulan pembahasan. Wallaahu Waliyyut taufiiq."
6. Lalai yang disebutkan dalam ancaman adalah keteledoran dan kesibukan yang membuatnya melewatkan waktu shalat. Sebagaimana dijelaskan oleh Sa'ad bin Abi Waqqash r.a.
Diriwayatkan dari Mush'ab bin Sa'ad, ia berkata, "Aku bertanya kepada ayahku, 'Wahai ayahanda, apa maksud firman Allah, ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.' (Al-Maa'uun: 5).
Siapakah di antara kita yang tidak pernah lalai? Siapakah di antara kita yang tidak pernah tersilap?’
Sa'ad menjawab, 'Bukan itu maksudnya, lalai yang dimaksud adalah melalaikan waktunya. la bermain-main hingga melalaikan waktu shalat’," (Hasan, HR Abu Ya'la [704], ath-Thabari dalam Jaami'ul Bayaan [XXX/311] dan al-Baihaqi [11/214], ath-Thabari [XX/311], al-Bazzar [392] dan al-Baihaqi [11/214]).
Adapun lupa, kesibukan tanpa disengaja dan tidur, tidak termasuk di dalamnya. Siapa yang tertidur atau terlupa, hendaklah ia mengerjakan shalat kapan ia ingat. Sebab, itulah waktu shalat baginya sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam hadits shahih.
sumber : Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/335-343.
Langganan:
Postingan (Atom)