Keyakinan, adalah kesederhanaan. Sebuah kesederhanaan yang lahir dari kuatnya jiwa dan karakter seseorang. Keyakinan juga yang membuat Rasulullah, tak pernah berhenti berdo’a untuk penduduk thaif meski lemparan batu, hinaan hingga penolakan terhadap beliau bersama risalahnya. Keyakinan juga yang menumbuhkan kecintaan yang membara seorang Khalid bin Walid dengan dinginnya malam ketika perang dibanding bermesraan bersama seorang gadis cantik. Keyakinan pula yang membuat Ali bin abi Thalib dengan berani menggantikan Rasulullah ketika beliau hendak dibunuh oleh kaum Quraisy. Keyakinan itu tumbuh.. kuat mengakar.. Lahir dari keluhuran budi, kokohnya karakter, dan bersumber dari dentuman cinta mengabadi yang tak pernah padam untuk Allah dan jihad di jalan-Nya.
Keyakinan adalah teman setianya gairah yang selalu bersumber dari cinta. Keyakinan adalah kekuatan yang takkan pernah habis untuk selalu memberi energi bagi jiwa untuk menunggu, “membangun”, menguatkan, hingga berbagai defenisi tindakan yang terkadang tak bisa diterima oleh akal. Keyakinan hadir seperti sumber cahaya, ia adalah sumbu lilin yang terus terbakar, ia adalah sumbu sinaran yang menjadi alat untuk memberikan ruang terangnya.
Jika keyakinan adalah alasan terbesar seseorang untuk bertahan. Maka pasangan jiwanya adalah kesabaran. Kesabaranlah yang membuat orang untuk terus bersama dengan keyakinannya. Jika keyakinan adalah sumbu untuk memberikan cahaya, maka kemampuan untuk menerangi selama mungkin adalah sebuah defenisi sederhana tentang kesabaran. Kesabaran selalu menghasilkan berjuta pesona bagi sejarah. Bagaimana Sayyid Qutb lebih memilih untuk bersabar bersama dengan siksaan penjara di zamannya, kesabarannya-lah yang membuat cerita jihad menggelora di dalam dada jutaan pejuang di seantero mayapada. Bagaimana Yusuf AS, yang lebih memilih penjara agar mampu terus mengenal-Nya. Bagaimana sumayyah meneladani semua wanita dengan semangat jiwanya untuk terus bersabar menahan siksaan kaum kafir hingga menjadi syuhada pertama dalam Islam. Mereka adalah karakter-karakter yang menyejarah.. selalu indah untuk dikenang.
Gabungan antara keyakinan dan kesabaran akan menghasilkan semangat yang takkan pernah padam. Keberanian akan menjadi temannya, kesolehan akan menjadi pakaian mereka, kebeningan hati akan selalu mengisi hidup mereka, dan hasilnya… Karya-karya besar bagi peradaban akan tercipta dari segala bentuk usaha mereka.
Yakinlah… bahwa Allah takkan pernah menyia-nyiakan segala usahamu.. Bersabarlah, hingga kelak… Ketika sabarmu telah habis masanya.. Perbahuilah terus ia dengan sebuah KEYAKINAN… Bahwa Allah takkan pernah membuatmu kecewa..!
ditulis oleh : Yusuf Al Bahi.
Minggu, 19 Desember 2010
Kiat Mencari Jodoh
Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, supaya muncul suatu ketenangan, kesenangan, ketenteraman, kedamaian dana kebahagiaan. Hal ini tentu saja menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup yang memang merupakan fitrah manusia, apalagi pernikahan itu merupakan ketetapan Ilahi dan dalam sunnah Rasul ditegaskan bahwa “Nikah adalah Sunnahnya”. Oleh karena itu Dinul Islam mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan dan selanjutnya mengarahkan pertemuan tersebut sehingga terlaksananya suatu pernikahan.
Namun dalam kenyataannya, untuk mencari pasangan yang sesuai tidak selamanya mudah. Hal ini berkaitan dengan permasalahan jodoh. Memang perjodohan itu sendiri suatu hal yang ghaib dan sulit diduga, kadang-kadang pada sebagian orang mudah sekali datangnya, dan bagi yang lain amat sulit dan susah. Bahkan ada kalanya sampai tua seseorang belum menikah juga.
Fenomena beberapa tahun akhir-akhir ini, kita melihat betapa banyaknya muslimah-muslimah yang menunggu kedatangan jodoh, sehingga tanpa terasa usia mereka semakin bertambah, sedangkan para musliminnya, bukannya tidak ada, mereka secara ma’isyah belum berani maju untuk melangkahkan kakinya menuju mahligai rumah tangga yang mawaddah wa rahmah. Kekhawatiran jelas tampak, di tengah-tengah perekonomian yang semakin terpuruk, sulit bagi mereka untuk memutuskan segera menikah.
Gejala ini merupakan salah satu dari problematika dakwah dewasa ini. Dampaknya kaum muslimah semakin membludak, usia mereka pelan namun pasti beranjak semakin naik.
Untuk mencari solusinya, dengan tetap berpegangan kepada syariat Islam yang memang diturunkan untuk kemaslahatan manusia, beberapa kiat mencari jodoh dapat dilakukan :
1. Yang paling utama dan lebih utama adalah memohonkannya pada Sang Khalik, karena Dialah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan (QS.4:1). Permohonan kepada Allah SWT dengan meminta jodoh yang diridhoiNya, merupakan kebutuhan penting manusia karena kesuksesan manusia mendapatkan jodoh berpengaruh besar dalam kehidupan dunia dan akhirat seseorang.
2. Melalui mediator, antara lain:
a. Orang tua. Seorang muslimah dapat meminta orang tuanya untuk mencarikannya jodoh dengan menyebut kriteria yang ia inginkan. Pada masa Nabi SAW, beliau dan para sahabat-sahabatnya segera menikahkan anak perempuan. Sebagaimana cerita Fatimah binti Qais, bahwa Nabi SAW bersabda padanya : Kawinlah dengan Usamah. Lalu aku kawin dengannya, maka Allah menjadikan kebaikan padanya dan keadaanku baik dan menyenangkan dengannya (HR. Muslim).
b. Guru ngaji (murabbiyah). Jika memang sudah mendesak untuk menikah, seorang muslimah tidak ada salahnya untuk minta tolong kepada guru ngajinya agar dicarikan jodoh yang sesuai dengannya. Dengan keyakinan bahwa jodoh bukanlah di tangan guru ngaji. Ini adalah salah satu upaya dalam mencari jodoh.
c. Sahabat dekat. Kepadanya seorang muslimah bisa mengutarakan keinginannya untuk dicarikan jodoh. Sebagai gambaran, kita melihat perjodohan antara Nabi SAW dengan Khadijah RA. Diawali dengan ketertarikan Khadijah RA kepada pribadi beliau yang pada saat itu berstatus karyawan pada perusahaan bisnis yang dipegang oleh Khadijah RA. Melalui Nafisah sebagai mediatornya akhirnya Nabi SAW menikahi Khadijah RA..
d. Biro Jodoh. Biro jodoh yang Islami dapat memenuhi keinginan seorang muslimah untuk menikah. Dikatakan Islami karena prosedur yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Salah satu di antaranya adalah Club Ummi Bahagia.
3. Langsung, dalam arti calon sudah dikenal terlebih dahulu dan ia berakhlaq Islami menurut kebanyakan orang-orang yang dekat dengannya (temannya atau pihak keluarganya). Namun pacaran tetap dilarang oleh Islam. Jika masing-masing sudah cocok maka segera saja melamar dan menikah. Kadang kala yang tertarik lebih dahulu adalah muslimahnya, maka ia dapat menawarkan dirinya kepada laki-laki saleh yang ia senangi tersebut (dalam hal ini belum lazim di tengah-tengah masyarakat kita). Seorang sahabiat pernah datang kepada Nabi SAW dan menawarkan dirinya pada beliau. Maka seorang wanita mengomentarinya, “Betapa sedikit rasa malunya.” Ayahnya yang mendengar komentar putrinya itu menjawab, “Dia lebih baik dari pada kamu, dia menginginkan Nabi SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau.”
Sebuah cerita bagus dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqoh pengarang buku Tahrirul Mar’ah, bahwa ada seorang temannya yang didatangi oleh seorang wanita untuk mengajaknya menikah. Temannya itu merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, “Apakah aku mengajak Anda untuk berbuat haram? Aku hanya mengajak Anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya”. Maka terjadilah pernikahan setelah itu.
Semua upaya tersebut hendaknya dilakukan satu persatu dengan rasa sabar dan tawakal tidak kenal putus asa. Di samping itu seorang muslimah sambil menunggu sebaiknya ia mengaktualisasikan kemampuannya. Lakukan apa yang dapat dilakukan sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan dakwah. Jika seorang muslimah kurang pergaulan, bagaimana ia dapat mengenal orang lain yang ingin menikahinya.
Barangkali perlu mengadakan evaluasi terhadap kriteria pasangan hidup yang ia inginkan. Bisa jadi standar ideal yang ia harapkan menyebabkan ia terlalu memilih-milih. Menikah dengan orang hanif (baik keagamaannya) merupakan salah satu alternatif yang perlu diperhatikan sebagai suatu tantangan dakwah baginya.
Akhirnya, semua usaha yang telah dilakukan diserahkan kembali kepada Allah SWT. Ia Maha Mengetahui jalan kehidupan kita dan kepadaNyalah kita berserah diri. Wallahu A’lam bishowab. (hudzaifah/hdn)
sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/kiat-mencari-jodoh/
Namun dalam kenyataannya, untuk mencari pasangan yang sesuai tidak selamanya mudah. Hal ini berkaitan dengan permasalahan jodoh. Memang perjodohan itu sendiri suatu hal yang ghaib dan sulit diduga, kadang-kadang pada sebagian orang mudah sekali datangnya, dan bagi yang lain amat sulit dan susah. Bahkan ada kalanya sampai tua seseorang belum menikah juga.
Fenomena beberapa tahun akhir-akhir ini, kita melihat betapa banyaknya muslimah-muslimah yang menunggu kedatangan jodoh, sehingga tanpa terasa usia mereka semakin bertambah, sedangkan para musliminnya, bukannya tidak ada, mereka secara ma’isyah belum berani maju untuk melangkahkan kakinya menuju mahligai rumah tangga yang mawaddah wa rahmah. Kekhawatiran jelas tampak, di tengah-tengah perekonomian yang semakin terpuruk, sulit bagi mereka untuk memutuskan segera menikah.
Gejala ini merupakan salah satu dari problematika dakwah dewasa ini. Dampaknya kaum muslimah semakin membludak, usia mereka pelan namun pasti beranjak semakin naik.
Untuk mencari solusinya, dengan tetap berpegangan kepada syariat Islam yang memang diturunkan untuk kemaslahatan manusia, beberapa kiat mencari jodoh dapat dilakukan :
1. Yang paling utama dan lebih utama adalah memohonkannya pada Sang Khalik, karena Dialah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan (QS.4:1). Permohonan kepada Allah SWT dengan meminta jodoh yang diridhoiNya, merupakan kebutuhan penting manusia karena kesuksesan manusia mendapatkan jodoh berpengaruh besar dalam kehidupan dunia dan akhirat seseorang.
2. Melalui mediator, antara lain:
a. Orang tua. Seorang muslimah dapat meminta orang tuanya untuk mencarikannya jodoh dengan menyebut kriteria yang ia inginkan. Pada masa Nabi SAW, beliau dan para sahabat-sahabatnya segera menikahkan anak perempuan. Sebagaimana cerita Fatimah binti Qais, bahwa Nabi SAW bersabda padanya : Kawinlah dengan Usamah. Lalu aku kawin dengannya, maka Allah menjadikan kebaikan padanya dan keadaanku baik dan menyenangkan dengannya (HR. Muslim).
b. Guru ngaji (murabbiyah). Jika memang sudah mendesak untuk menikah, seorang muslimah tidak ada salahnya untuk minta tolong kepada guru ngajinya agar dicarikan jodoh yang sesuai dengannya. Dengan keyakinan bahwa jodoh bukanlah di tangan guru ngaji. Ini adalah salah satu upaya dalam mencari jodoh.
c. Sahabat dekat. Kepadanya seorang muslimah bisa mengutarakan keinginannya untuk dicarikan jodoh. Sebagai gambaran, kita melihat perjodohan antara Nabi SAW dengan Khadijah RA. Diawali dengan ketertarikan Khadijah RA kepada pribadi beliau yang pada saat itu berstatus karyawan pada perusahaan bisnis yang dipegang oleh Khadijah RA. Melalui Nafisah sebagai mediatornya akhirnya Nabi SAW menikahi Khadijah RA..
d. Biro Jodoh. Biro jodoh yang Islami dapat memenuhi keinginan seorang muslimah untuk menikah. Dikatakan Islami karena prosedur yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Salah satu di antaranya adalah Club Ummi Bahagia.
3. Langsung, dalam arti calon sudah dikenal terlebih dahulu dan ia berakhlaq Islami menurut kebanyakan orang-orang yang dekat dengannya (temannya atau pihak keluarganya). Namun pacaran tetap dilarang oleh Islam. Jika masing-masing sudah cocok maka segera saja melamar dan menikah. Kadang kala yang tertarik lebih dahulu adalah muslimahnya, maka ia dapat menawarkan dirinya kepada laki-laki saleh yang ia senangi tersebut (dalam hal ini belum lazim di tengah-tengah masyarakat kita). Seorang sahabiat pernah datang kepada Nabi SAW dan menawarkan dirinya pada beliau. Maka seorang wanita mengomentarinya, “Betapa sedikit rasa malunya.” Ayahnya yang mendengar komentar putrinya itu menjawab, “Dia lebih baik dari pada kamu, dia menginginkan Nabi SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau.”
Sebuah cerita bagus dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqoh pengarang buku Tahrirul Mar’ah, bahwa ada seorang temannya yang didatangi oleh seorang wanita untuk mengajaknya menikah. Temannya itu merasa terkejut dan heran, maka wanita itu bertanya, “Apakah aku mengajak Anda untuk berbuat haram? Aku hanya mengajak Anda untuk kawin sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya”. Maka terjadilah pernikahan setelah itu.
Semua upaya tersebut hendaknya dilakukan satu persatu dengan rasa sabar dan tawakal tidak kenal putus asa. Di samping itu seorang muslimah sambil menunggu sebaiknya ia mengaktualisasikan kemampuannya. Lakukan apa yang dapat dilakukan sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan dakwah. Jika seorang muslimah kurang pergaulan, bagaimana ia dapat mengenal orang lain yang ingin menikahinya.
Barangkali perlu mengadakan evaluasi terhadap kriteria pasangan hidup yang ia inginkan. Bisa jadi standar ideal yang ia harapkan menyebabkan ia terlalu memilih-milih. Menikah dengan orang hanif (baik keagamaannya) merupakan salah satu alternatif yang perlu diperhatikan sebagai suatu tantangan dakwah baginya.
Akhirnya, semua usaha yang telah dilakukan diserahkan kembali kepada Allah SWT. Ia Maha Mengetahui jalan kehidupan kita dan kepadaNyalah kita berserah diri. Wallahu A’lam bishowab. (hudzaifah/hdn)
sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/kiat-mencari-jodoh/
Nafisah Binti Hasan
Nama lengkapnya adalah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. la lahir di Mekah pada tahun 145 Hijriyah dan merupakan anak dari seorang wali kota di Madinah. Namun pada masa pemerintahan Ja’far Al-Mansur, ayahnya harus digeser dari kedudukannya sebagai wali kota. Hartanya dirampas dan ia pun harus meringkuk di penjara. Namun, pada masa pemerintahan Al-Mahdi, jabatan dan seluruh harta bendanya yang pernah dirampas oleh Ja’far Al-Mansur, dikembalikan kembali.
la pernah pergi ke Baghdad untuk menjenguk ayahnya di saat masih dalam penjara. la telah menghafal Al-Qur’an semenjak kecil, dan sekaligus juga ikut mempelajari ilmu tafsir. la juga merupakan salah satu dari perawi Hadits. Maka tidaklah mengherankan lagi jika imam Syafi’i sendiri juga pernah meriwayatkan Hadits dari Nafisah. Dan tak hanya itu saja, imam Ahmad bin Hambal pun pernah pula meminta doa kepada Nafisah. la menikah dengan anak pamannya yang bernama Al-Mu’tamin Ishaq bin Ja’far, dan dikaruniai dua orang anak yang diberi nama dengan Qasim dan Ummu Kultsum. la di saat melakukan ibadah haji, pernah memegang kain penutup Ka’bah seraya berkata “ya Tuhanku, ya Tuanku, ya Majikanku, senangkanlah aku dengan keridhaan-Mu kepadaku.” la pada masanya, dikenal sebagai wanita yang mempunyai doa sangat mujarab.
Bibinya pernah memintanya untuk mau memperhatikan dan menyayangi dirinya sendiri. Namun, Rabi’ah malah menjawab, “ya bibiku, barang siapa yang senantiasa berada dijalan Tuhan secara terus menerus, maka alam semesta ini akan berada di tangan dan kehendaknya pula.”
la tak pernah memakan makanan selain dari harta suaminya sendiri, lantaran rasa malu dan kehatian-hatiannya memakan makanan yang tak jelas halal dan haramnya. la pernah berkunjung ke Mesir dan disambut dengan riang gembira oleh masyarakat setempat. Sehingga di saat Imam Syafi’i meninggal dunia, ia sangat berduka sekali, dan meminta agar jenazah imam Syafi’i disinggahkan di dalam rumahnya agar ia bisa menshalati Imam Syafi’i dan sekaligus mendoakannya.
Penduduk Mesir pernah mengadukan kezhaliman bani Thalun kepada Nafisah. la lantas menyikapi pengaduan itu dengan cara menempelkan sepucuk surat di seberang jalan. la mengatakan dalam suratnya itu “Engkau semua yang telah menjadikannya raja, namun engkau semua pula telah diperbudaknya. Engkau semua yang telah memberikannya kekuatan, namun engkau semua pula yang malah ditindasnya. Engkau semua yang telah memberikannya sebuah pemerintahan, namun engkau semua yang akhirnya menyesal atas pemberian itu. Dulunya kalian semua dalam keadaan makmur, namun karenanya lah kemakmuran itu pergi. Maka ketahuilah kalian semua, berdoa di malam hari demi sebuah kemaslahatan pasti terkabulkan. Dan ketahuilah (wahai pemerintah) bahwa kejahatan-kejahatan kalian selama ini, kami sikapi dengan penuh kesabaran. Berlakulah jahat terus, sehingga kita akan terus menjadi orang-orang yang teraniaya. Dan bertindaklah zhalim terus, dan kita di sini akan menjadi orang-orang yang terzhalimi. Dan ketahuilah, bahwasanya orang-orang yang senantiasa berlaku zhalim suatu saat pasti akan jatuh.” Membaca tulisan Nafisah itu, bani Thalun merasa gemetaran dan takut, sehingga ia bersedia menjalankan sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana.
Pada akhirnya, ia merasa bahwa berada di tengah-tengah masyarakat akan mengganggu konsentrasinya dalam melakukan ibadah. la mulai memantapkan hati untuk meninggalkan Mesir dan kembali menuju Madinah. Namun, masyarakat setempat tidak ingin berpisah dengannya. Maka wali kota berusaha mencarikan jalan tengah antara keinginan masyarakat setempat dengan keinginan suci Nafisah. Oleh karena itu, wali kota mendirikan sebuah rumah untuk Nafisah yang berada jauh dari keramaian manusia, dan menjadwal hari berkunjung masyarakat kepada Nafisah, yaitu pada tiap hari sabtu dan rabu saja.
Ia menggali kuburan di dalam rumahnya sendiri di saat ia mulai merasa sakit. la senantiasa melakukan shalat dan mampu mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 190 kali di dalam kuburannya itu. la pernah diundang dalam sebuah jamuan, dan ditawari sebuah makanan kepadanya. Namun ia dalam keadaan puasa. la berkata kepada orang-orang tersebut, “sangat mengherankan sekali, selama 30 tahun lamanya aku meminta kepada Allah agar bisa menemui-Nya sedang aku dalam keadaan berpuasa. Apakah aku harus berbuka sekarang? Ini semua tidak akan pernah ada selamanya.”
la meninggal dunia di saat membaca surat al An’am. Tepatnya pada ayat: “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal shalih yang selalu mereka kerjakan”, (al An’am: 127). Setelah membaca ayat itu, ia lantas tertidur dan kemudian meninggal dunia. Ini terjadi pada tahun 207 Hijriyah. la dimakamkan di Mesir, tepatnya di kota Kairo.
sumber : http://www.dakwatuna.com
la pernah pergi ke Baghdad untuk menjenguk ayahnya di saat masih dalam penjara. la telah menghafal Al-Qur’an semenjak kecil, dan sekaligus juga ikut mempelajari ilmu tafsir. la juga merupakan salah satu dari perawi Hadits. Maka tidaklah mengherankan lagi jika imam Syafi’i sendiri juga pernah meriwayatkan Hadits dari Nafisah. Dan tak hanya itu saja, imam Ahmad bin Hambal pun pernah pula meminta doa kepada Nafisah. la menikah dengan anak pamannya yang bernama Al-Mu’tamin Ishaq bin Ja’far, dan dikaruniai dua orang anak yang diberi nama dengan Qasim dan Ummu Kultsum. la di saat melakukan ibadah haji, pernah memegang kain penutup Ka’bah seraya berkata “ya Tuhanku, ya Tuanku, ya Majikanku, senangkanlah aku dengan keridhaan-Mu kepadaku.” la pada masanya, dikenal sebagai wanita yang mempunyai doa sangat mujarab.
Bibinya pernah memintanya untuk mau memperhatikan dan menyayangi dirinya sendiri. Namun, Rabi’ah malah menjawab, “ya bibiku, barang siapa yang senantiasa berada dijalan Tuhan secara terus menerus, maka alam semesta ini akan berada di tangan dan kehendaknya pula.”
la tak pernah memakan makanan selain dari harta suaminya sendiri, lantaran rasa malu dan kehatian-hatiannya memakan makanan yang tak jelas halal dan haramnya. la pernah berkunjung ke Mesir dan disambut dengan riang gembira oleh masyarakat setempat. Sehingga di saat Imam Syafi’i meninggal dunia, ia sangat berduka sekali, dan meminta agar jenazah imam Syafi’i disinggahkan di dalam rumahnya agar ia bisa menshalati Imam Syafi’i dan sekaligus mendoakannya.
Penduduk Mesir pernah mengadukan kezhaliman bani Thalun kepada Nafisah. la lantas menyikapi pengaduan itu dengan cara menempelkan sepucuk surat di seberang jalan. la mengatakan dalam suratnya itu “Engkau semua yang telah menjadikannya raja, namun engkau semua pula telah diperbudaknya. Engkau semua yang telah memberikannya kekuatan, namun engkau semua pula yang malah ditindasnya. Engkau semua yang telah memberikannya sebuah pemerintahan, namun engkau semua yang akhirnya menyesal atas pemberian itu. Dulunya kalian semua dalam keadaan makmur, namun karenanya lah kemakmuran itu pergi. Maka ketahuilah kalian semua, berdoa di malam hari demi sebuah kemaslahatan pasti terkabulkan. Dan ketahuilah (wahai pemerintah) bahwa kejahatan-kejahatan kalian selama ini, kami sikapi dengan penuh kesabaran. Berlakulah jahat terus, sehingga kita akan terus menjadi orang-orang yang teraniaya. Dan bertindaklah zhalim terus, dan kita di sini akan menjadi orang-orang yang terzhalimi. Dan ketahuilah, bahwasanya orang-orang yang senantiasa berlaku zhalim suatu saat pasti akan jatuh.” Membaca tulisan Nafisah itu, bani Thalun merasa gemetaran dan takut, sehingga ia bersedia menjalankan sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana.
Pada akhirnya, ia merasa bahwa berada di tengah-tengah masyarakat akan mengganggu konsentrasinya dalam melakukan ibadah. la mulai memantapkan hati untuk meninggalkan Mesir dan kembali menuju Madinah. Namun, masyarakat setempat tidak ingin berpisah dengannya. Maka wali kota berusaha mencarikan jalan tengah antara keinginan masyarakat setempat dengan keinginan suci Nafisah. Oleh karena itu, wali kota mendirikan sebuah rumah untuk Nafisah yang berada jauh dari keramaian manusia, dan menjadwal hari berkunjung masyarakat kepada Nafisah, yaitu pada tiap hari sabtu dan rabu saja.
Ia menggali kuburan di dalam rumahnya sendiri di saat ia mulai merasa sakit. la senantiasa melakukan shalat dan mampu mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 190 kali di dalam kuburannya itu. la pernah diundang dalam sebuah jamuan, dan ditawari sebuah makanan kepadanya. Namun ia dalam keadaan puasa. la berkata kepada orang-orang tersebut, “sangat mengherankan sekali, selama 30 tahun lamanya aku meminta kepada Allah agar bisa menemui-Nya sedang aku dalam keadaan berpuasa. Apakah aku harus berbuka sekarang? Ini semua tidak akan pernah ada selamanya.”
la meninggal dunia di saat membaca surat al An’am. Tepatnya pada ayat: “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal shalih yang selalu mereka kerjakan”, (al An’am: 127). Setelah membaca ayat itu, ia lantas tertidur dan kemudian meninggal dunia. Ini terjadi pada tahun 207 Hijriyah. la dimakamkan di Mesir, tepatnya di kota Kairo.
sumber : http://www.dakwatuna.com
Minggu, 12 Desember 2010
Ketika cinta hendak diberi...
Andainya sedikit cinta itu hendak di berikan kepada seseorang yg akan digelar suami, pilihlah seorg lelaki yg :
1. Kuat Pengamalan Agamanya
Ukuran dpt dibuat apakah dia menjaga solat fardhunya biar sesibuk mana, kerap b`jemaah dan solat pd awal waktu. Lihat, apakah dia menjaga auratnya dengan memakai pakaian yg sopan. Mengutamakan pemuda yg kuat pengamalan agamanya ini adalah sunnah Rasulullah s.a.w kerana baginda menerima pinangan Sayidina Ali, seorg pemuda paling miskin tetapi paling b`takwa utk menjadi suami anaknya , Siti Fatimah.
2- Baik Akhlaknya
Ketegasannya nyata tetapi sebenarnya dia seorg yg lembut dan mudah b`tolak ansur. Dia b`tutur dgn sopan kerana melambangkan peribadi dan hatinya yg mulia. Rasa hormatnya kpd org tua, dia suka menolong org, pemurah, jujur, ramah dan penyayang.
Rasulullah s.a.w besabda; "Jika (seorang lelaki ) datang ( untuk meminang anak perempuan kamu ) dan kamu berpuas hati dengan agamanya serta akhlaknya, nikahkan dia ( dengan anak perempuan kamu ). Jika hal itu tidak kamu lakukan maka akan menjadi fitnah di bumi dan kerosakan yang amat luas."
3- Tegas Mempertahankan Imannya
Ukur, apakah dia pernah pergi ke tempat2 yg boleh menjatuhkan kredibilita dan imannya seperti tempat2 hiburan yang penuh maksiat.
Rasulullah s.a.w bersabda; " Barangsiapa yang menikahkan anak permpuannya dengan lelaki fasik ( derhaka ) berarti dia telah memutuskan hubungan silaturrahim dengan anaknya sendiri."
4- Amanah
Selidiki, apakah dia seorang yang tidak pernah mengabaikan tugas yang di berikan kepadanya atau apakah dia pernah menyalahgunakan kedudukannya.
5- Tidak Boros
Dia bukanlah seorang yg kikir, tetapi seseorg yg mau membelanjakan uangnya dgn bijaksana.
6- Tidak `liar` Matanya
Lelaki calon suami anda itu mestilah seseorang yg tdk liar matanya. Perhatikan apakah matanya kerap melihat ke arah perempuan lain yg lalu lalang sewaktu berbicara. Jika begitu, dia seorg yg bermata keranjang dan berbahaya utk dijadikan sbg calon suami.
7- Terbatas Pergaulan
Dia tidak mengikuti cara hidup orang banyak yg begitu bebas, walaupun sebagai lelaki dia tahu dia tidak mudah menjadi fitnah orang.
8- Siapakah Rekan Pergaulannya
Rekan2 pergaulannya adalah sama sepertinya.
9- Bertanggungjawab
Rasa tanggungjawabnya dapat diukur kepada sejauh manakah dia menguntukkan dirinya untuk ibu bapa dan keluarganya. Jika dia seorang yg agak berada tetapi keluarganya hidup susah, dia bukanlah seorg yg bertanggungjawab.
10- Tenang Wajahnya.
Apa yg t`simpan dlm sanubari kadang2 terpancar pada air muka. Perhatikan, apakah wajahnya tenang, setenang sewaktu dia b`cakap dan b`tindak. Andainya dia seorang yg kelam wajahnya, dia bukanlah calon suami yg anda cari2.
Berbahagialah anda jika dicintai calon suami yang demikian sifatnya.. Semoga berbahagia dunia dan Akhirat…
ditulis oleh : mawaddah
1. Kuat Pengamalan Agamanya
Ukuran dpt dibuat apakah dia menjaga solat fardhunya biar sesibuk mana, kerap b`jemaah dan solat pd awal waktu. Lihat, apakah dia menjaga auratnya dengan memakai pakaian yg sopan. Mengutamakan pemuda yg kuat pengamalan agamanya ini adalah sunnah Rasulullah s.a.w kerana baginda menerima pinangan Sayidina Ali, seorg pemuda paling miskin tetapi paling b`takwa utk menjadi suami anaknya , Siti Fatimah.
2- Baik Akhlaknya
Ketegasannya nyata tetapi sebenarnya dia seorg yg lembut dan mudah b`tolak ansur. Dia b`tutur dgn sopan kerana melambangkan peribadi dan hatinya yg mulia. Rasa hormatnya kpd org tua, dia suka menolong org, pemurah, jujur, ramah dan penyayang.
Rasulullah s.a.w besabda; "Jika (seorang lelaki ) datang ( untuk meminang anak perempuan kamu ) dan kamu berpuas hati dengan agamanya serta akhlaknya, nikahkan dia ( dengan anak perempuan kamu ). Jika hal itu tidak kamu lakukan maka akan menjadi fitnah di bumi dan kerosakan yang amat luas."
3- Tegas Mempertahankan Imannya
Ukur, apakah dia pernah pergi ke tempat2 yg boleh menjatuhkan kredibilita dan imannya seperti tempat2 hiburan yang penuh maksiat.
Rasulullah s.a.w bersabda; " Barangsiapa yang menikahkan anak permpuannya dengan lelaki fasik ( derhaka ) berarti dia telah memutuskan hubungan silaturrahim dengan anaknya sendiri."
4- Amanah
Selidiki, apakah dia seorang yang tidak pernah mengabaikan tugas yang di berikan kepadanya atau apakah dia pernah menyalahgunakan kedudukannya.
5- Tidak Boros
Dia bukanlah seorang yg kikir, tetapi seseorg yg mau membelanjakan uangnya dgn bijaksana.
6- Tidak `liar` Matanya
Lelaki calon suami anda itu mestilah seseorang yg tdk liar matanya. Perhatikan apakah matanya kerap melihat ke arah perempuan lain yg lalu lalang sewaktu berbicara. Jika begitu, dia seorg yg bermata keranjang dan berbahaya utk dijadikan sbg calon suami.
7- Terbatas Pergaulan
Dia tidak mengikuti cara hidup orang banyak yg begitu bebas, walaupun sebagai lelaki dia tahu dia tidak mudah menjadi fitnah orang.
8- Siapakah Rekan Pergaulannya
Rekan2 pergaulannya adalah sama sepertinya.
9- Bertanggungjawab
Rasa tanggungjawabnya dapat diukur kepada sejauh manakah dia menguntukkan dirinya untuk ibu bapa dan keluarganya. Jika dia seorang yg agak berada tetapi keluarganya hidup susah, dia bukanlah seorg yg bertanggungjawab.
10- Tenang Wajahnya.
Apa yg t`simpan dlm sanubari kadang2 terpancar pada air muka. Perhatikan, apakah wajahnya tenang, setenang sewaktu dia b`cakap dan b`tindak. Andainya dia seorang yg kelam wajahnya, dia bukanlah calon suami yg anda cari2.
Berbahagialah anda jika dicintai calon suami yang demikian sifatnya.. Semoga berbahagia dunia dan Akhirat…
ditulis oleh : mawaddah
Rabu, 01 September 2010
Jadi Akhwat Jangan Cengeng
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Dikasih amanah malah melarikan diri..
Diajak syuro bilang ada ijin syar’i..
Afwan ane ada agenda syar’i.. Afwan lagi nguleg sambel trasi..
Disuruh ikut aksi, malah pergi naik taksi..
Sambil lambai-lambai, bilang dadaaah…yuk mari…..
Terus dakwah gimana? Diakhiri???
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Sekilas gayanya sih haroki berlagak Izzis..
Tapi hati kok Seismic? Sungguh ironis…
Mendayu-dayu kaya’ film romantis..
Kesehariannya malah jadi narsis..
Jauh dari kamera jadi dikira gaK eksis..
Hati-hati kalo ditolak, bikin dramatis..
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Dikit-dikit SMS ikhwan dengan alasan dapet gratisan
Rencana awal cuma kasih info kajian
Lama-lama nanya kabar harian.. wah, investigasi beneran!
Bisa-bisa dikira pacaran!
Sampai kepikiran dijadikan pasangan…
Ga’ usah ngaco-ngaco gitu deh kawan!
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Abis nonton film palestina semangat empat lima..
Eh pas disuruh jadi coach, pergi lenyap kemana??
Semangat jadi pendukung luar biasa..
Tapi nggak siap jadi yang pelakunya.. yang diartikan sama dengan nelangsa..
Yah…bikin kecewa...
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Ngumpet-ngumpet berduaan..
Eh, awas lho yang ketiga setan…
Trus, dikit-dikit aleman minta dibeliin jajan..
Emang sih nggak pegangan tangan..
Cuma pandang-pandangan tapi bermesraan..
Wah, kaya’ film india aja gan!
Kalo ketemu Musyrifah atau binaan?
Mau taruh di mana tuh muka yang kemerah-merahan?
Oh malunya sama Musyrifah atau binaan?
Sama Allah? Buang aja ke lautan..
Yang penting mah bisa sayang-sayangan…
Na’udzubillah tenan…
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Sedekah dikira buang duit. .
Katanya sih biar ngirit, tapi kok shoping tiap menit??
Langsung sengit kalo dibilang pelit…
Mendingan buat dzikir komat-kamit…
Malah keluar kata-kata nyelekit…
Aduh…bikin hati sodaranya sakit…
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Semangat dakwah ternyata bukan untuk amanah..
Tapi buat berburu ikhwan yang wah gitu dah ..
Pujaan dapet, terus walimah..
Dakwah pun say goodbye dadaaah..
Dakwah yang dulu benar-benar ditinggalkah?
Dakwah kawin lari.. karena kebelet nikah..
Duh duh... amanah..amanah…
Dakwah.. dakwah..
Kalah sama ikhwan yang wah..
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Buka facebook liatin foto ikhwan..
Dicari yang jenggotan..
Kalo udah dapet trus telpon-telponan..
Tebar pesona akhwat padahal tampang pas-pasan..
"Assalammu'alaykum akhi, salam ukhuwah.. udah kerja? Suka bakwan?"
Disambut baik sama akhi, mulai berpikir untuk dikasih bakwan ..
Ikhwannya meng-iya-kan..
Mau-mau aja dibeliin bakwan..
Asik, ngirit uang kost dan uang makan...
Langsung deh siapin acara buat walimahan!
Prinsipnya yang dulu dikemanakan???
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Ilmu cuma sedikit ajah..
Udah mengatai Ustadzah..
Nyadar diri woi lu tuh cuma kelas bawah..
Baca qur'an tajwid masih salah-salah..
Lho kok udah berani nuduh ustadzah..
Semoga tuh cepet-cepet dikasih hidayah…
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Status facebook tiap menit beda..
Isinya tentang curahan hatinya..
Nunjukkin diri kalau lagi sengsara..
Minta komen buat dikuatin biar ga’ nambah nelangsa..
Duh duh.. status kok bikin putus asa..
Dikemanakan materi yang dikasih ustadzah baru saja?
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Ngeliat akhwat-akhwat yang lain deket banget sama ikhwan, jadi pengen ikutan..
Hidup jadi suram seperti di padang gersang yang penuh godaan..
Mau ikutan tapi udah tau kayak gitu nggak boleh.. tau dari pengajian..
Kepala cenat-cenut pusing beneran…
Oh kasihan.. Mendingan jerawatan…
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Ngeliat pendakwah akhlaknya kayak artis metropolitan..
Makin bingung nyari teladan..
Teladannya bukan lagi idaman..
Hidup jadi kelam tak berbintang bahkan diguyur hujan..
Mau jadi putih nggak kuat untuk bertahan..
Ah biarlah kutumpahkan semua dengan caci makian..
Akhirnya aku ikut-ikutan jadi artis metropolitan..
Teladan pun sekarang ini susah ditemukan..
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Diajakain dauroh alasannya segunung…
Kalo disuruh shopping tancap gas langsung...
Hatipun tetap cerah walaupun mendung
Maklum banyak ikhwan sliweran yang bikin berdetak cepat nih jantung..
Kalo pas tilawah malah terkatung-katung…
Duh.. bingung...bingung…
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Bangga disebut akhwat.. hati jadi wah..
Tapi jarang banget yang namanya tilawah..
Yang ada sering gosip ngomongin sesamalah…
Wah... wah… ghibah… ghibah…
Eh, malah timbul fitnah…
Segera ber-istighfar lah…
Jadi Akhwat jangan cengeng..
Dulunya di dakwah banyak amanah..
Sekarang katanya berhenti sejenak untuk menyiapkan langkah..
Tapi entah kenapa berdiamnya jadi hilang arah..
Akhinya timbul perasaan sudah pernah berdakwah..
Merasa lebih senior dan lebih mengerti tentang dakwah..
Anak baru dipandang dengan mata sebelah..
Akhirnya diam dalam singgasana kenangan dakwah..
Dari situ bilang.. Dadaaahhh.. Saya dulu lebih berat dalam dakwah..
Lanjutin perjuangan saya yah...
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Jadi Akhwat jangan cengeng...
Jadi Akhwat jangan cengeng...
dikuti dari : http://moeryalfatih.blogspot.com
Rabu, 11 Agustus 2010
Kepompong Ramadhan
Pernahkan Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang ulat bulu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat ini ternyata tak lama. Pada suatu saat nanti ia akan mengalami fase dimana ia harus masulk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud lain : ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu yg sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian siapa yg tak menyukai kupu-kupu dgn sayap yg beraneka hiasan indah alami? Sebagian orang bahkan mungkin mencari dan kemudian mengoleksi bagi sebagai hobi ataupun utk keperluan ilmu pengetahuan.
Semua proses itu memperlihatkan tanda-tanda Kemahabesaran Alloh. Menandakan betapa teramat mudah bagi Alloh Azza wa Jalla mengubah segala sesuatu dari hal yg menjijikkan buruk dan tak disukai menjadi sesuatu yg indah dan membuat orang senang memandangnya. Semua itu berjalan melalui suatu proses perubahan yang sudah diatur dan aturan pun ditentukan oleh Alloh baik dalam bentuk aturan atau hukum alam maupun berdasarkan hukum yg disyariatkan kepada manusia yakin Al Qur’an dan Al Hadits.
Jika proses metamorfosa pada ulat ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yg jauh lbh indah momen yg paling tepat utk terlahir kembali adalah ketika memasuki Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam ‘kepompong’ Ramadhan lalu segala aktivitas kita cocok dgn ketentuan-ketentuan “metamorfosa” dari Alloh niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan yakni manusia yg berderajat muttaqin yg memiliki akhlak yang indah dan mempesona.
Inti dari badah Ramadhan ternyata adl melatih diri agar kita dapat menguasai hawa nafsu. Allah SWT berfirman “Dan adapun orang-orang yg takut kepada kebesaran Tuhan dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh syurgalah tempat tinggalnya.” .
Selama ini mungkin kita merasa kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu. Kenapa? Karena selama ini pada diri kita terdapat pelatihan lain yg ikut membina hawa nafsu kita ke arah yang tak disukai Allah. Siapakah pelatih itu? Dialah syetan laknatullah yg sangat aktif mengarahkan hawa nafsu kita. Akan tetapi memang itulah tugas syetan. apalagi seperti halnya hawa nafsu syetan pun memiliki dimensi yg sama dengan hawa nafsu yakni kedua-duanya sama-sama tak terlihat. “Sesungguh syetan itu adalah musuh yg nyata bagimu maka anggaplah ia sebagai musuhmu karena syetan itu hanya mengajak golongan supaya menjadi penghuni neraka yg menyala-nyala” demikian firman Allah dalam QS. Al Fathir (25) : 6}.
Akan tetapi kita bersyukur krn pada bulan Ramadhan ini Allah mengikat erat syetan terkutuk sehingga kita diberi kesempatan sepenuh utk bisa melatih diri mengendalikan hawa nafsu kita. Karena kesempatan seperti ini tak boleh kita sia-siakan. Ibadah shaum kita harus ditingkatkan. Tidak hanya shaum atau menahan diri dari hawa nafsu perut dan seksual saja akan tetapi juga semua anggota badan kita lain agar mau melaksanakan amalan yg disukai Allah. Jika hawa nafsu sudah bisa kita kendalikan maka ketika syetan dipelas kembali mereka sudah tunduk pada keinginan kita. Dengan demikian hidup kita pun sepenuh dapat dijalani dengan hawa nafsu yg berada dalam keridhaan-Nya. Inilah pangkal kebahagiaan dunia akhirat. Hal lain yg paling utama harus kita jaga juga dalam bulan yg sarat dgn berkah ini adalah akhlak. Barang siapa membaguskan akhlak pada bulan Ramadhan Allah akan menyelamatkan dia tatkala melewati shirah di mana banyak kaki tergelincir demikianlah sabda Rasulullah SAW.
Pada bulan Ramadhan ini kita dianggap sebagai tamu Allah. Dan sebagai tuan rumah Allah sangat mengetahui bagaimana cara memperlakukan tamu-tamu dgn baik. Akan tetapi sesungguh Allah hanya akan memperlakukan kita dgn baik jika kita tahu adab dan bagaimana berakhlak sebagai tamu-Nya. Salah satu yakni dgn menjaga shaum kita sesempurna mungkin. Tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga belaka tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh kita ikut shaum.
Mari kita perbaiki segala kekurangan dan kelalaian akhlak kita sebagai tamu Allah krn tak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir yg dijalani hidup kita jangan sampai disia-siakan.
Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah ‘kepompong’ Ramadhan ini kita masuki kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yg baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yg keluar menjadi seekor kupu-kupu yg teramat indah dan mempesona amiin.**
sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym
Semua proses itu memperlihatkan tanda-tanda Kemahabesaran Alloh. Menandakan betapa teramat mudah bagi Alloh Azza wa Jalla mengubah segala sesuatu dari hal yg menjijikkan buruk dan tak disukai menjadi sesuatu yg indah dan membuat orang senang memandangnya. Semua itu berjalan melalui suatu proses perubahan yang sudah diatur dan aturan pun ditentukan oleh Alloh baik dalam bentuk aturan atau hukum alam maupun berdasarkan hukum yg disyariatkan kepada manusia yakin Al Qur’an dan Al Hadits.
Jika proses metamorfosa pada ulat ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yg jauh lbh indah momen yg paling tepat utk terlahir kembali adalah ketika memasuki Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam ‘kepompong’ Ramadhan lalu segala aktivitas kita cocok dgn ketentuan-ketentuan “metamorfosa” dari Alloh niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan yakni manusia yg berderajat muttaqin yg memiliki akhlak yang indah dan mempesona.
Inti dari badah Ramadhan ternyata adl melatih diri agar kita dapat menguasai hawa nafsu. Allah SWT berfirman “Dan adapun orang-orang yg takut kepada kebesaran Tuhan dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh syurgalah tempat tinggalnya.” .
Selama ini mungkin kita merasa kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu. Kenapa? Karena selama ini pada diri kita terdapat pelatihan lain yg ikut membina hawa nafsu kita ke arah yang tak disukai Allah. Siapakah pelatih itu? Dialah syetan laknatullah yg sangat aktif mengarahkan hawa nafsu kita. Akan tetapi memang itulah tugas syetan. apalagi seperti halnya hawa nafsu syetan pun memiliki dimensi yg sama dengan hawa nafsu yakni kedua-duanya sama-sama tak terlihat. “Sesungguh syetan itu adalah musuh yg nyata bagimu maka anggaplah ia sebagai musuhmu karena syetan itu hanya mengajak golongan supaya menjadi penghuni neraka yg menyala-nyala” demikian firman Allah dalam QS. Al Fathir (25) : 6}.
Akan tetapi kita bersyukur krn pada bulan Ramadhan ini Allah mengikat erat syetan terkutuk sehingga kita diberi kesempatan sepenuh utk bisa melatih diri mengendalikan hawa nafsu kita. Karena kesempatan seperti ini tak boleh kita sia-siakan. Ibadah shaum kita harus ditingkatkan. Tidak hanya shaum atau menahan diri dari hawa nafsu perut dan seksual saja akan tetapi juga semua anggota badan kita lain agar mau melaksanakan amalan yg disukai Allah. Jika hawa nafsu sudah bisa kita kendalikan maka ketika syetan dipelas kembali mereka sudah tunduk pada keinginan kita. Dengan demikian hidup kita pun sepenuh dapat dijalani dengan hawa nafsu yg berada dalam keridhaan-Nya. Inilah pangkal kebahagiaan dunia akhirat. Hal lain yg paling utama harus kita jaga juga dalam bulan yg sarat dgn berkah ini adalah akhlak. Barang siapa membaguskan akhlak pada bulan Ramadhan Allah akan menyelamatkan dia tatkala melewati shirah di mana banyak kaki tergelincir demikianlah sabda Rasulullah SAW.
Pada bulan Ramadhan ini kita dianggap sebagai tamu Allah. Dan sebagai tuan rumah Allah sangat mengetahui bagaimana cara memperlakukan tamu-tamu dgn baik. Akan tetapi sesungguh Allah hanya akan memperlakukan kita dgn baik jika kita tahu adab dan bagaimana berakhlak sebagai tamu-Nya. Salah satu yakni dgn menjaga shaum kita sesempurna mungkin. Tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga belaka tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh kita ikut shaum.
Mari kita perbaiki segala kekurangan dan kelalaian akhlak kita sebagai tamu Allah krn tak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir yg dijalani hidup kita jangan sampai disia-siakan.
Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah ‘kepompong’ Ramadhan ini kita masuki kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yg baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yg keluar menjadi seekor kupu-kupu yg teramat indah dan mempesona amiin.**
sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym
Kategori
Marhaban Ya Ramadhan
Minggu, 01 Agustus 2010
Larangan Keras Meninggalkan Shalat Dengan Sengaja
Allah SWT berfirman, "Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan," (Maryam: 59).
Allah juga berfirman, "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna," (Al-Maa'uun: 4-7).
Diriwayatkan dari Jabir bin 'Abdillali r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, ‘Batas pemisah antara seorang hamba dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat’," (HR Muslim [82]).
Diriwayatkan dari Buraidah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir," (HR Tirmidzi [2621], an-Nasa’i [1/231-232], Ibnu Majah [1079], Ahmad [V/346 dan 355], Ibnu Hibban [1454] dan al-Hakim [1/7]).
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Syaqiq r.a, ia berkata, "Menurut para Sahabat r.a, tidak ada amal yang membuat kafir orang yang meninggalkan amal itu selain shalat," (Atsar shahih, HR Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab Atsar shahih, dikeluarkan oleh Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab [948] dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [Xl/49]).
Kandungan Bab:
1. Al-Baghawi berkata dalam Syarbus Sunnah (11/179-180), "Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang hukuman kafir terhadap orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib..."
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/369), "Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat merupakan perkara yang dapat membuat pelakunya kafir. Kaum Miislimin menyepakati hukum kafir atas siapa saja yang meninggalkan shalat karena (ia) mengingkari hukum wajibnya, kecuali orang yang baru saja masuk Islam atau orang yang tidak hidup di tengah kaum Muslimin yang menyampaikan kepadanya tentang kewajiban shalat. Jika ia meninggalkannya karena malas, namun masih meyakini hukum wajibnya, seperti keadaan mayoritas kaum Muslimin, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat…"
2. Dari uraian di atas jelaslah:
1. Para ulama sepakat atas kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya dan mengolok-oloknya.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya, atau karena menganggapnya tidak penting, atau karena menganggap boleh meninggalkannya.
3. Jumhur ahli ilmu berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak jatuh kafir.
3. Mereka mengartikan kata kufur dalam hadits-hadits tersebut sebagai peringatan dan ancaman keras. Dalilnya adalah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh 'Ubadah bin ash-Shamit r.a, "Shalat lima waktu yang telah Allah wajibkan atas manusia, barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya karena meremehkannya, maka baginya perjanjian di sisi Allah, yakni Allah akan memasukkannya ke dalam Surga. Barangsiapa tidak mengerjakannya, maka tidak ada perjanjian baginya di sisi Allah. Jika mau, Allah akan mengadzabnya, dan jika mau, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Surga," (HR Abu Dawud [1420], an-Nasa’i [I/230], Ibnu Majah [1401], Ahmad [V/315-316 dan 319], Malik [I/123], Abdurrazzaq [4575], Ibnu Abi Syaibah [II/296], ad-Dariini [I/370], al-Humaidi [388], al-Baghawi [977], IbnuHibban [2417], al-Baihaqi [/361], [II/8] dan [467], [X/2l7]).
Nash-nash berisi ancaman seluruhnya masih termasuk kategori perkara yang berada di bawah kehendak Allah SWT. Di antaranya adalah nash tentang ancaman atas orang yang meninggalkan shalat, seperti yang anda lihat sendiri. Kembali kepada kehendak Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau mengadzabnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, “Barangsiapa yang Allah janjikan baginya pahala atas sebuah amalan, rnaka Allah pasti memberikan pahala itu kepadanya. Dan barangsiapa yang Allah beri ancaman berupa siksa atas sebuah dosa, maka keputusan-nya kembali kepada kehendak-Nya." (Hasan lighairihi, Abu Yala (3316) dan Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah (960).
Itulah yang ditegaskan oleh Imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal, dalam wasiatnya kepada Musaddad bin Musarhad yang disebutkan dalam kitab Thabaqaatul Hanaabilah [1/343], "Tidak ada perkara yang dapat mengeluarkan seorang Muslim dari keislamannya kecuali syirik kepada Allah atau mengingkari kewajiban yang Allah tetapkan. Jika ia meninggalkan kewajiban tersebut karena malas atau menganggapnya remeh, maka keputusannya terserah pada kehendak Allah, apakah Dia akan mengadzabnya atau meng-ampuninya."
Putera beliau, yakni 'Abdullah, telah bertanya kepada beliau dalam Masaa’ilnya (191 dan 192) tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat. Beliau menjawab, "Diriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda, '(Pemisah) antara seorang hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat’."
Ayahku berkata, "Orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengerjakannya atau orang yang mengerjakannya di luar waktuiya, maka seretlah ia ke pengadilan. Jika ia tetap tidak mau mengerjakannya, maka penggallah lehernya. Menurutku, kedudukannya adalah murtad setelah diminta agar ia bertaubat sebanyak tiga kali. Jika ia tidak mau bertaubat, maka bunuhlah ia berdasarkan hadits 'Umar r.a."
Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat 'Ashar hingga terbenam matahari. Beliau berkata, "Perintahkanlah dia shalat, jika setelah diperintahkan sebanyak tiga kali tidak mau juga, maka penggallah lehernya."
'Abdullah bin Ahmad berkata dalam Masaa’ilnya (195), "Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang melalaikan shalat selama dua bulan. Beliau berkata, 'Dia harus mengganti shalat-shalat tersebut pada waktunya masing-masing. Hendaklah ia kerjakan qadha' shalat yang ia tinggalkan tersebut hingga akhir waktnnya. la harus mengganti shalat-shalat yang dikhawatirkan terluput itu. Dan janganlah ia melalaikannya di lain waktu.
Kemudian ia kembali mengerjakan qadha' shalat yang belum terqadha', kecuali bila ia harus mencari nafkah dan tidak mampu mengerjakan qadha' shalat tersebut. Jikalau demikian, hendaklah ia mencari orang untuk mencukupi nafkahnya sehingga ia bisa mengganti shalat-shalat yang terluput itu. Dan tidak sah shalatnya selama masih ada shalat terdahulu yang belum diqadha'. Jika demikian, ia harus mengulanginya kapan ia teringat, walaupun ia sedang me-ngerjakan shalat’."
Ini merupakan nash yang dapat dipertanggungjawabkan dari Imam Ahmad, menurut beliau orang yang meninggalkan shalat tanpa sebab tidak dapat dihukumi kafir. Namun, bila ia menolak mengerjakannya setelah ia mengetahui hujjahnya, maka ia boleh dihukum mati. Yaitu setelah ia diseret ke pengadilan. Dan yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Mardawi dalam kitab al-Inshaaffii Ma'rifatir Raajih minal Khilaaf 'alaa Madzkab al-lmam Ahmad bin Hanbal (1/402), beliau berkata, "Orang yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya. Sekiranya ia meninggalkan banyak shalat sebelum diseret ke pengadilan, maka tidaklah boleh membunulinya dan tidak boleh dihukumi kafir menurut pendapat yang benar dalam madzhab (yakni madzhab Hanbali-ed.). Pendapat itulah yang dipilih oleh mayoritas rekan kami. Bahkan, sebagian besar dari mereka menegaskan pendapat tersebut."
Oleh sebab itu, al-Majd bin Taimiyyah menegaskan dalam kitab al Muharrar fil Fiqh al-Hanbali (halaman 62), "Barangsiapa melalaikan shalat karena malas, bukan karena mengingkari kewajibannya, maka ia harus dipaksa mengerjakannya. Jika setelah dipaksa ia tidak mau juga hingga keluar waktunya, maka ia boleh dihukum mati.
Ia tidak dihukumi kafir karena melalaikannya hingga keluar waktu, namun ia dihukum mati karena sikap bersikerasnya yang menunjukkan ia mengingkari kewajibannya, sedang ia mengetahuinya dan ia tetap tidak mau mengerjakannya. Sebabnya adalah, ia lebih memilih dihukum mati daripada mengerjakan shalat. Maka dalam kondisi seperti itu tidak mungkin lagi dikata-kan ia malas atau melalaikannya, namun ia termasuk orang yang mengingkari kewajibannya dan lebih memilih kekufuran dan kemunafikan. Karena itu, ia berhak dihukum mati sebagai balasan yang setimpal."
Inilah pendapat yang dipilih oleh ulama ahli tahqiq madzhab Hanbali, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata, "Jika ia meninggalkan salah satu dari shalat fardhu karena malas, maka ia belum dapat dihukumi kafir."
Demikian pula dalam kitab al-Muqni'. Dalam kitab al-Mughni (11/298-302) masalah ini diulas panjang lebar, di akhir pembahasan, penulis menyimpulkan, "Dan juga karena ijma' kaum Muslimin dalam masalah ini; Belum kami ketahui, dahulu sampai sekarang, seorang pun yang menolak memandikan dan menshalatkan jenazah orang yang meninggalkan shalat serta menguburkannya di perkuburan kaum Muslimin, Tidak seorang pun yang menghalangi ahli warisnya dari mewarisi hartanya atau menghalanginya dari mewarisi harta ahli warisnya. Tidak ada seorang pun yang memisahkannya dari isterinya karena ia meninggalkan shalat, padahal banyak sekali orang yang meninggalkan shalat. Sekiranya orang yang meninggalkan shalat dihukumi kafir, tentu hukum-hukum tersebut berlaku atas dirinya. Kami belum mendapati perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin bahwa orang yang meninggalkan shalat wajib mengqadha’nya. Sekiranya ia dihukumi murtad, tentu tidak perlu lagi mengqadha’ shalat atau puasa.
Berkenaan dengan hadits-hadits di atas, maksudnya adalah peringatan keras agar tidak sama seperti orang-orang kafir, bukan bermaksud bahwa mereka benar-benar kafir. Contohnya sabda Nabi saw, "Mencela orang Muslim adalah perbuatan fasik dan menumpahkan darahnya adalah kekufuran."
Sabda Nabi saw, "Kafir kepada, Allah orang yang mengingkari nasabnya meskipun halus."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka salah seorang dari keduanya telah pantas (berhak) menyandang predikat tersebut."
Sabda Nabi saw., "Barangsiapa menyetubuhi isterinya yang sedang haidh atau menyetubuhi-nya pada duburnya, inaka ia telah kafir kepada ajaran yang diturunkan kepada Muhammad saw.”
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan, ‘Hujan turun karena bintang ini,’ maka ia telah kafir kepada Allah dan beriman kepada bintang-bintang."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat syirik."
Sabda Nabi saw, "Peminum khamr seperti penyembah berhala."
Dan hadits-hadits senada dengan itu yang maksudnya adalah peringatan keras. Itulah pendapat yang paling tepat, wallaahu a'lam"
Adapun Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab, beliau menjawab pertanyaan tentang perkara-perkara yang dapat membuat seseorang dihukumi kafir dan boleh dibunuh, seperti dinukil dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah (1/70) sebagai berikut, "Rukun Islam ada lima; pertama adalah mengucap dua kalimat syahadat. Setelah itu, empat rukun berikutnya (yakni shalat, zakat, puasa dan haji). Jika ia telah mengakuinya namun ia meninggalkannya karena malas, maka meskipun kita boleh memeranginya karena perbuatannya tersebut, yang jelas/ pasti kita tidak menghukuminya kafir. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya. Kita tidak boleh menghukuminya kafir kecuali dengan mengingkari perkara yang sudah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu syahadatain."
4. Meskipun perkara ini menimbulkan kontroversi yang sangat tajam, maksudnya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan lalai, karena ketiadaan sikap tegas penguasa kaum Muslimin dalam menghukum pelakunya, namun yang jelas kaum Muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat fardhu karena malas atau lalai merupakan dosa besar. Dosanya lebih berat daripada dosa membunuh, dosa mengambil harta orang lain tanpa hak dan dosa-dosa lainnya. Pelakunya berhak mendapat siksa dan murka Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat. Dan juga dapat menyeretnya kepada kemurtadan dan terpisah dari kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, kita memohon keselamatan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kelak. Dalam hal ini, para penguasa kaum Muslimin hendaklah menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang meninggalkan shalat. Karena Allah memberikan anjuran mdalui sulthan (penguasa) sebagaimana Allah memberikan anjuran melalui Al-Qur’an.
5. Guru kami, Syaikh Abu 'Abdirrahman al-Albani berkata dalam kitab ash'Shahiihah (1/177-178), "Di sini ada sebuah faidah, aku lihat sangat sedikit orang yang memperhatikannya atau mengingatkannya. Maka dari itu, wajib dijelaskan dan diterangkan, aku katakan, 'Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat karena malas masih dihukumi Muslim selama tidak ada bukti atau indikasi yang dapat menyingkap isi hatinya, lalu ia mati sebelum diminta bertaubat. Sebagaimana halnya yang terjadi di zaman sekarang ini. Adapun bila diberikan pilihan antara dibunuh atau bertaubat kembali mengerjakan dan menjaga shalat, lalu ia memilih dibunuh lalu dijalankan hukum bunuh atasnya, maka dalam kondisi seperti ini, ia mati dalam keadaan kafir. Jenazahnya tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan tidak berlaku atasnya hukum-hukum jenazah kaum Muslimin (seperti dimandikan dan dishalatkan). Berbeda halnya dengan apa yang disebutkan dari as-Sakhawi tadi. Sebab, tidak masuk akal, jika ia lebih memilih dibunuh karena meninggalkan shalat -sementara ia tidak mengingkari kewajiban shalat dalam hatinya-. Hal tersebut sangat mustahil dan tentu sudah dapat memakluminya dari tabi'at manusia itu sendiri. Tidak perlu dalil untuk membuktikannya’."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (11/48), "Apabila seseorang menolak mengerjakan shalat hingga ia dibunuh dan secara bathin tidak mengakui hukum wajibnya serta tidak juga mengerjakannya, maka ia dihukumi kafir berdasarkan ijma' kaum Muslimin. Banyak sekali pe-nukilan dari Sahabat r.a. yang menyatakan demikian. Dan juga berdasarkan nash-nash yang shahih. Barangsiapa bersikeras meninggalkannya hingga ia mati, tidak pernah sujud (meski) sekalipun kepada Allah, ia tidak termasuk Muslim yang mengakui kewajiban shalat. Keyakinan bahwa shalat adalah wajib dan keyakinan bahwa siapa saja yang meninggalkannya boleh dibunuh, sebenar-nya sudah cukup mendorongnya untuk mengerjakannya. la tentu mengerjakan shalat bila memiliki keyakinan ini disertai dengan kemampuan mengerjakannya. Jika ia tidak mengerjakannya padahal ia mampu, maka itu menunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak ada padanya."
Saya katakan, "Ini merupakan intisari dan kesimpulan pembahasan. Wallaahu Waliyyut taufiiq."
6. Lalai yang disebutkan dalam ancaman adalah keteledoran dan kesibukan yang membuatnya melewatkan waktu shalat. Sebagaimana dijelaskan oleh Sa'ad bin Abi Waqqash r.a.
Diriwayatkan dari Mush'ab bin Sa'ad, ia berkata, "Aku bertanya kepada ayahku, 'Wahai ayahanda, apa maksud firman Allah, ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.' (Al-Maa'uun: 5).
Siapakah di antara kita yang tidak pernah lalai? Siapakah di antara kita yang tidak pernah tersilap?’
Sa'ad menjawab, 'Bukan itu maksudnya, lalai yang dimaksud adalah melalaikan waktunya. la bermain-main hingga melalaikan waktu shalat’," (Hasan, HR Abu Ya'la [704], ath-Thabari dalam Jaami'ul Bayaan [XXX/311] dan al-Baihaqi [11/214], ath-Thabari [XX/311], al-Bazzar [392] dan al-Baihaqi [11/214]).
Adapun lupa, kesibukan tanpa disengaja dan tidur, tidak termasuk di dalamnya. Siapa yang tertidur atau terlupa, hendaklah ia mengerjakan shalat kapan ia ingat. Sebab, itulah waktu shalat baginya sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam hadits shahih.
sumber : Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/335-343.
Allah juga berfirman, "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna," (Al-Maa'uun: 4-7).
Diriwayatkan dari Jabir bin 'Abdillali r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, ‘Batas pemisah antara seorang hamba dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat’," (HR Muslim [82]).
Diriwayatkan dari Buraidah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir," (HR Tirmidzi [2621], an-Nasa’i [1/231-232], Ibnu Majah [1079], Ahmad [V/346 dan 355], Ibnu Hibban [1454] dan al-Hakim [1/7]).
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Syaqiq r.a, ia berkata, "Menurut para Sahabat r.a, tidak ada amal yang membuat kafir orang yang meninggalkan amal itu selain shalat," (Atsar shahih, HR Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab Atsar shahih, dikeluarkan oleh Tirmidzi [2622], al-Hakim [1/7], Ibnu Nashr dalam Ta'zhiim Qadrish Shalaab [948] dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [Xl/49]).
Kandungan Bab:
1. Al-Baghawi berkata dalam Syarbus Sunnah (11/179-180), "Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang hukuman kafir terhadap orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib..."
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/369), "Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat merupakan perkara yang dapat membuat pelakunya kafir. Kaum Miislimin menyepakati hukum kafir atas siapa saja yang meninggalkan shalat karena (ia) mengingkari hukum wajibnya, kecuali orang yang baru saja masuk Islam atau orang yang tidak hidup di tengah kaum Muslimin yang menyampaikan kepadanya tentang kewajiban shalat. Jika ia meninggalkannya karena malas, namun masih meyakini hukum wajibnya, seperti keadaan mayoritas kaum Muslimin, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat…"
2. Dari uraian di atas jelaslah:
1. Para ulama sepakat atas kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya dan mengolok-oloknya.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya, atau karena menganggapnya tidak penting, atau karena menganggap boleh meninggalkannya.
3. Jumhur ahli ilmu berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak jatuh kafir.
3. Mereka mengartikan kata kufur dalam hadits-hadits tersebut sebagai peringatan dan ancaman keras. Dalilnya adalah hadits marfu' yang diriwayatkan oleh 'Ubadah bin ash-Shamit r.a, "Shalat lima waktu yang telah Allah wajibkan atas manusia, barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya karena meremehkannya, maka baginya perjanjian di sisi Allah, yakni Allah akan memasukkannya ke dalam Surga. Barangsiapa tidak mengerjakannya, maka tidak ada perjanjian baginya di sisi Allah. Jika mau, Allah akan mengadzabnya, dan jika mau, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Surga," (HR Abu Dawud [1420], an-Nasa’i [I/230], Ibnu Majah [1401], Ahmad [V/315-316 dan 319], Malik [I/123], Abdurrazzaq [4575], Ibnu Abi Syaibah [II/296], ad-Dariini [I/370], al-Humaidi [388], al-Baghawi [977], IbnuHibban [2417], al-Baihaqi [/361], [II/8] dan [467], [X/2l7]).
Nash-nash berisi ancaman seluruhnya masih termasuk kategori perkara yang berada di bawah kehendak Allah SWT. Di antaranya adalah nash tentang ancaman atas orang yang meninggalkan shalat, seperti yang anda lihat sendiri. Kembali kepada kehendak Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau mengadzabnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, “Barangsiapa yang Allah janjikan baginya pahala atas sebuah amalan, rnaka Allah pasti memberikan pahala itu kepadanya. Dan barangsiapa yang Allah beri ancaman berupa siksa atas sebuah dosa, maka keputusan-nya kembali kepada kehendak-Nya." (Hasan lighairihi, Abu Yala (3316) dan Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah (960).
Itulah yang ditegaskan oleh Imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal, dalam wasiatnya kepada Musaddad bin Musarhad yang disebutkan dalam kitab Thabaqaatul Hanaabilah [1/343], "Tidak ada perkara yang dapat mengeluarkan seorang Muslim dari keislamannya kecuali syirik kepada Allah atau mengingkari kewajiban yang Allah tetapkan. Jika ia meninggalkan kewajiban tersebut karena malas atau menganggapnya remeh, maka keputusannya terserah pada kehendak Allah, apakah Dia akan mengadzabnya atau meng-ampuninya."
Putera beliau, yakni 'Abdullah, telah bertanya kepada beliau dalam Masaa’ilnya (191 dan 192) tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat. Beliau menjawab, "Diriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda, '(Pemisah) antara seorang hamba dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat’."
Ayahku berkata, "Orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengerjakannya atau orang yang mengerjakannya di luar waktuiya, maka seretlah ia ke pengadilan. Jika ia tetap tidak mau mengerjakannya, maka penggallah lehernya. Menurutku, kedudukannya adalah murtad setelah diminta agar ia bertaubat sebanyak tiga kali. Jika ia tidak mau bertaubat, maka bunuhlah ia berdasarkan hadits 'Umar r.a."
Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat 'Ashar hingga terbenam matahari. Beliau berkata, "Perintahkanlah dia shalat, jika setelah diperintahkan sebanyak tiga kali tidak mau juga, maka penggallah lehernya."
'Abdullah bin Ahmad berkata dalam Masaa’ilnya (195), "Aku bertanya kepada ayahku tentang orang yang melalaikan shalat selama dua bulan. Beliau berkata, 'Dia harus mengganti shalat-shalat tersebut pada waktunya masing-masing. Hendaklah ia kerjakan qadha' shalat yang ia tinggalkan tersebut hingga akhir waktnnya. la harus mengganti shalat-shalat yang dikhawatirkan terluput itu. Dan janganlah ia melalaikannya di lain waktu.
Kemudian ia kembali mengerjakan qadha' shalat yang belum terqadha', kecuali bila ia harus mencari nafkah dan tidak mampu mengerjakan qadha' shalat tersebut. Jikalau demikian, hendaklah ia mencari orang untuk mencukupi nafkahnya sehingga ia bisa mengganti shalat-shalat yang terluput itu. Dan tidak sah shalatnya selama masih ada shalat terdahulu yang belum diqadha'. Jika demikian, ia harus mengulanginya kapan ia teringat, walaupun ia sedang me-ngerjakan shalat’."
Ini merupakan nash yang dapat dipertanggungjawabkan dari Imam Ahmad, menurut beliau orang yang meninggalkan shalat tanpa sebab tidak dapat dihukumi kafir. Namun, bila ia menolak mengerjakannya setelah ia mengetahui hujjahnya, maka ia boleh dihukum mati. Yaitu setelah ia diseret ke pengadilan. Dan yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Mardawi dalam kitab al-Inshaaffii Ma'rifatir Raajih minal Khilaaf 'alaa Madzkab al-lmam Ahmad bin Hanbal (1/402), beliau berkata, "Orang yang menyeretnya ke pengadilan adalah amir atau wakilnya. Sekiranya ia meninggalkan banyak shalat sebelum diseret ke pengadilan, maka tidaklah boleh membunulinya dan tidak boleh dihukumi kafir menurut pendapat yang benar dalam madzhab (yakni madzhab Hanbali-ed.). Pendapat itulah yang dipilih oleh mayoritas rekan kami. Bahkan, sebagian besar dari mereka menegaskan pendapat tersebut."
Oleh sebab itu, al-Majd bin Taimiyyah menegaskan dalam kitab al Muharrar fil Fiqh al-Hanbali (halaman 62), "Barangsiapa melalaikan shalat karena malas, bukan karena mengingkari kewajibannya, maka ia harus dipaksa mengerjakannya. Jika setelah dipaksa ia tidak mau juga hingga keluar waktunya, maka ia boleh dihukum mati.
Ia tidak dihukumi kafir karena melalaikannya hingga keluar waktu, namun ia dihukum mati karena sikap bersikerasnya yang menunjukkan ia mengingkari kewajibannya, sedang ia mengetahuinya dan ia tetap tidak mau mengerjakannya. Sebabnya adalah, ia lebih memilih dihukum mati daripada mengerjakan shalat. Maka dalam kondisi seperti itu tidak mungkin lagi dikata-kan ia malas atau melalaikannya, namun ia termasuk orang yang mengingkari kewajibannya dan lebih memilih kekufuran dan kemunafikan. Karena itu, ia berhak dihukum mati sebagai balasan yang setimpal."
Inilah pendapat yang dipilih oleh ulama ahli tahqiq madzhab Hanbali, seperti Ibnu Qudamah, ia berkata, "Jika ia meninggalkan salah satu dari shalat fardhu karena malas, maka ia belum dapat dihukumi kafir."
Demikian pula dalam kitab al-Muqni'. Dalam kitab al-Mughni (11/298-302) masalah ini diulas panjang lebar, di akhir pembahasan, penulis menyimpulkan, "Dan juga karena ijma' kaum Muslimin dalam masalah ini; Belum kami ketahui, dahulu sampai sekarang, seorang pun yang menolak memandikan dan menshalatkan jenazah orang yang meninggalkan shalat serta menguburkannya di perkuburan kaum Muslimin, Tidak seorang pun yang menghalangi ahli warisnya dari mewarisi hartanya atau menghalanginya dari mewarisi harta ahli warisnya. Tidak ada seorang pun yang memisahkannya dari isterinya karena ia meninggalkan shalat, padahal banyak sekali orang yang meninggalkan shalat. Sekiranya orang yang meninggalkan shalat dihukumi kafir, tentu hukum-hukum tersebut berlaku atas dirinya. Kami belum mendapati perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin bahwa orang yang meninggalkan shalat wajib mengqadha’nya. Sekiranya ia dihukumi murtad, tentu tidak perlu lagi mengqadha’ shalat atau puasa.
Berkenaan dengan hadits-hadits di atas, maksudnya adalah peringatan keras agar tidak sama seperti orang-orang kafir, bukan bermaksud bahwa mereka benar-benar kafir. Contohnya sabda Nabi saw, "Mencela orang Muslim adalah perbuatan fasik dan menumpahkan darahnya adalah kekufuran."
Sabda Nabi saw, "Kafir kepada, Allah orang yang mengingkari nasabnya meskipun halus."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka salah seorang dari keduanya telah pantas (berhak) menyandang predikat tersebut."
Sabda Nabi saw., "Barangsiapa menyetubuhi isterinya yang sedang haidh atau menyetubuhi-nya pada duburnya, inaka ia telah kafir kepada ajaran yang diturunkan kepada Muhammad saw.”
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa mengatakan, ‘Hujan turun karena bintang ini,’ maka ia telah kafir kepada Allah dan beriman kepada bintang-bintang."
Sabda Nabi saw, "Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat syirik."
Sabda Nabi saw, "Peminum khamr seperti penyembah berhala."
Dan hadits-hadits senada dengan itu yang maksudnya adalah peringatan keras. Itulah pendapat yang paling tepat, wallaahu a'lam"
Adapun Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab, beliau menjawab pertanyaan tentang perkara-perkara yang dapat membuat seseorang dihukumi kafir dan boleh dibunuh, seperti dinukil dalam kitab ad-Durar as-Saniyyah (1/70) sebagai berikut, "Rukun Islam ada lima; pertama adalah mengucap dua kalimat syahadat. Setelah itu, empat rukun berikutnya (yakni shalat, zakat, puasa dan haji). Jika ia telah mengakuinya namun ia meninggalkannya karena malas, maka meskipun kita boleh memeranginya karena perbuatannya tersebut, yang jelas/ pasti kita tidak menghukuminya kafir. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari hukum wajibnya. Kita tidak boleh menghukuminya kafir kecuali dengan mengingkari perkara yang sudah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu syahadatain."
4. Meskipun perkara ini menimbulkan kontroversi yang sangat tajam, maksudnya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan lalai, karena ketiadaan sikap tegas penguasa kaum Muslimin dalam menghukum pelakunya, namun yang jelas kaum Muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat fardhu karena malas atau lalai merupakan dosa besar. Dosanya lebih berat daripada dosa membunuh, dosa mengambil harta orang lain tanpa hak dan dosa-dosa lainnya. Pelakunya berhak mendapat siksa dan murka Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat. Dan juga dapat menyeretnya kepada kemurtadan dan terpisah dari kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, kita memohon keselamatan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kelak. Dalam hal ini, para penguasa kaum Muslimin hendaklah menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang meninggalkan shalat. Karena Allah memberikan anjuran mdalui sulthan (penguasa) sebagaimana Allah memberikan anjuran melalui Al-Qur’an.
5. Guru kami, Syaikh Abu 'Abdirrahman al-Albani berkata dalam kitab ash'Shahiihah (1/177-178), "Di sini ada sebuah faidah, aku lihat sangat sedikit orang yang memperhatikannya atau mengingatkannya. Maka dari itu, wajib dijelaskan dan diterangkan, aku katakan, 'Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat karena malas masih dihukumi Muslim selama tidak ada bukti atau indikasi yang dapat menyingkap isi hatinya, lalu ia mati sebelum diminta bertaubat. Sebagaimana halnya yang terjadi di zaman sekarang ini. Adapun bila diberikan pilihan antara dibunuh atau bertaubat kembali mengerjakan dan menjaga shalat, lalu ia memilih dibunuh lalu dijalankan hukum bunuh atasnya, maka dalam kondisi seperti ini, ia mati dalam keadaan kafir. Jenazahnya tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan tidak berlaku atasnya hukum-hukum jenazah kaum Muslimin (seperti dimandikan dan dishalatkan). Berbeda halnya dengan apa yang disebutkan dari as-Sakhawi tadi. Sebab, tidak masuk akal, jika ia lebih memilih dibunuh karena meninggalkan shalat -sementara ia tidak mengingkari kewajiban shalat dalam hatinya-. Hal tersebut sangat mustahil dan tentu sudah dapat memakluminya dari tabi'at manusia itu sendiri. Tidak perlu dalil untuk membuktikannya’."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (11/48), "Apabila seseorang menolak mengerjakan shalat hingga ia dibunuh dan secara bathin tidak mengakui hukum wajibnya serta tidak juga mengerjakannya, maka ia dihukumi kafir berdasarkan ijma' kaum Muslimin. Banyak sekali pe-nukilan dari Sahabat r.a. yang menyatakan demikian. Dan juga berdasarkan nash-nash yang shahih. Barangsiapa bersikeras meninggalkannya hingga ia mati, tidak pernah sujud (meski) sekalipun kepada Allah, ia tidak termasuk Muslim yang mengakui kewajiban shalat. Keyakinan bahwa shalat adalah wajib dan keyakinan bahwa siapa saja yang meninggalkannya boleh dibunuh, sebenar-nya sudah cukup mendorongnya untuk mengerjakannya. la tentu mengerjakan shalat bila memiliki keyakinan ini disertai dengan kemampuan mengerjakannya. Jika ia tidak mengerjakannya padahal ia mampu, maka itu menunjukkan bahwa keyakinan tersebut tidak ada padanya."
Saya katakan, "Ini merupakan intisari dan kesimpulan pembahasan. Wallaahu Waliyyut taufiiq."
6. Lalai yang disebutkan dalam ancaman adalah keteledoran dan kesibukan yang membuatnya melewatkan waktu shalat. Sebagaimana dijelaskan oleh Sa'ad bin Abi Waqqash r.a.
Diriwayatkan dari Mush'ab bin Sa'ad, ia berkata, "Aku bertanya kepada ayahku, 'Wahai ayahanda, apa maksud firman Allah, ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.' (Al-Maa'uun: 5).
Siapakah di antara kita yang tidak pernah lalai? Siapakah di antara kita yang tidak pernah tersilap?’
Sa'ad menjawab, 'Bukan itu maksudnya, lalai yang dimaksud adalah melalaikan waktunya. la bermain-main hingga melalaikan waktu shalat’," (Hasan, HR Abu Ya'la [704], ath-Thabari dalam Jaami'ul Bayaan [XXX/311] dan al-Baihaqi [11/214], ath-Thabari [XX/311], al-Bazzar [392] dan al-Baihaqi [11/214]).
Adapun lupa, kesibukan tanpa disengaja dan tidur, tidak termasuk di dalamnya. Siapa yang tertidur atau terlupa, hendaklah ia mengerjakan shalat kapan ia ingat. Sebab, itulah waktu shalat baginya sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam hadits shahih.
sumber : Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/335-343.
Selasa, 23 Maret 2010
Abu Bakar Ash-Shiddiiq
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka`ab bin Sa`ad bin Taim bin Murrah bin Ka`ab bin Lu`ai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasy at-Taimi – radhiyallahu`anhu. Bertemu nasabnya dengan Nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Abu Bakar adalah shahabat Rasulullah – shalallahu`alaihi was salam – yang telah menemani Rasulullah sejak awal diutusnya beliau sebagai Rasul, beliau termasuk orang yang awal masuk Islam. Abu Bakar memiliki julukan “ash-Shiddiq” dan “Atiq”.
Ada yang berkata bahwa Abu Bakar dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj, orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung membenarkan.
Allah telah mempersaksikan persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)
`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi dalam gua tersebut.”
Allah juga berfirman : “Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar : 33)
Al-Imam adz-Dzahabi setelah membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di tengah-tengah para Shahabat?”
Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil : “Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau cintai?” beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab: “Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa`id radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali. Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin). (HR. Bukhari)
Masa Kekhalifahan
Dalam riwayat al-Bukhari diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu`anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid. Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata : “demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu, berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)
Ibnu Abbas radhiyallahu`anhuma berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”
Sa`id bin Musayyab rahimahullah berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”
Dalam riwayat al-Bukhari lainnya, Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara, namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah, yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara, ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin) adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)
Menurut `ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka.
Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”
Maka Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Beliau turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah
dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.
Setelah itu datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.
Wafatnya
Menurut para `ulama ahli sejarah Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah). Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Sumber :
-Al-Bidayah wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. – Shifatush-Shofwah karya Ibnul Jauzi. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah -Al-Kabaa`ir karya Adz-Dzahabi.
Ada yang berkata bahwa Abu Bakar dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj, orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung membenarkan.
Allah telah mempersaksikan persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)
`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi dalam gua tersebut.”
Allah juga berfirman : “Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar : 33)
Al-Imam adz-Dzahabi setelah membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di tengah-tengah para Shahabat?”
Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil : “Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau cintai?” beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab: “Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa`id radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali. Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin). (HR. Bukhari)
Masa Kekhalifahan
Dalam riwayat al-Bukhari diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu`anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid. Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata : “demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu, berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)
Ibnu Abbas radhiyallahu`anhuma berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”
Sa`id bin Musayyab rahimahullah berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”
Dalam riwayat al-Bukhari lainnya, Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara, namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah, yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara, ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin) adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)
Menurut `ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka.
Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”
Maka Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Beliau turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah
dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.
Setelah itu datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.
Wafatnya
Menurut para `ulama ahli sejarah Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah). Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Sumber :
-Al-Bidayah wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. – Shifatush-Shofwah karya Ibnul Jauzi. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah -Al-Kabaa`ir karya Adz-Dzahabi.
Asma binti Abu Bakar
Seorang sahabat wanita yang terkemuka dan termasuk orang yang memeluk Islam dari sejak dini. Dalam peristiwa hijrah beliau menahankan berbagai penderitaan dengan penuh kesabaran. Dia dijuluki dengan julukan “Dzaatin Nithaqain” (Wanita yang memiliki dua sabuk). Dia sempat ikut Perang Yarmuk dan mendapat cobaan. Asma adalah wanita yang fasih berbahasa dan pandai melantunkan syair. Dialah ibu dari Abdullah bin Zubair dia pulalah muhajirin yang terakhir meninggal dunia.
Asma’ binti Abu Bakar sudah memeluk Islam sejak masa-masa awal datangnya Islam. Beliau adalah saudarinya ibunda Aisyah Rodhiallahu Anha. Suatu waktu, ketika Rasullah dengan Abu Bakar Rodhiallahu Anhu telah memerintah Zaid Rodhiallahu Anhu dan beberapa orang pegawainya untuk mengambil kudanya dan keluarganya untuk dibawa ke Madinah.
Asma Rodhiallahu Anha berhijrah dengan rombongan tersebut. Sesampainya di Quba – dari rahim Asma Rodhiallahu Anha – lahirlah putra pertamanya yakni Abdullah bin Zubair.
Dalam sejarah Islam, itulah bayi pertama yang dilahirkan setelah hijrah. Pada zaman itu banyak terjadi kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan kelaparan. Tetapi pada zaman itu juga muncul kehebatan dan keberanian yang tiada bandingannya. Dalam sebuah riwayat dari Bukhari diceritakan bahwa Asma’ Rodhiallahu Anha sendiri pernah menceritakan tentang keadaan hidupnya,
“Ketika aku menikah dengan Zubair Rodhiallahu Anhu, ia tidak memiliki harta sedikit pun, tidak memiliki tanah, tidak memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki sesuatu apa pun. Hanya ada satu unta milikku yang biasa digunakan untuk membawa air, juga seekor kuda. Dengan unta tersebut, kami dapat membawa rumput dan lain-lainnya. Akulah yang menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut. Aku sendirilah yang mengisi tempat air sampai penuh. Apabila embernya peceh, aku sendirilah yang memperbaikinya. Pekerjaan merawat kuda, seperti mencarikan rumput dan memberinya makan, juga aku sendiri yang melakukannya. Semua pekerjaan yang paling sulit bagiku adalah memberi makan kuda. Aku kurang pandai membuat roti. Untuk membuat roti, biasanya aku hanya mencampurkan gandum dengan air, kemudian kubawa kepada wanita tetangga, yaitu seorang wanita Anshar, agar ia memasakkannya. Ia adalah seorang wanita yang ikhlas. Dialah yang memasakkan roti untukku.
Ketika Rasulullah sampai di Madinah, maka Zubair Rodhiallahu Anhu telah diberi hadiah oleh Rasulullah berupa sebidang tanah, seluas kurang lebih 2 mil (jauhnya dari kota). Lalu, kebun itu kami tanami pohon-pohon kurma. Suatu ketika, aku sedang berjalan sambil membawa kurma di atas kepalaku yang aku ambil dari kebun tersebut. Di tengah jalan aku bertemu Rasulullah dan beberapa sahabat Anshar lainnya yang sedang menunggang unta. Setelah Rasulullah melihatku, beliau pun menghentikan untanya. Kemudian beliau mengisyaratkan agar aku naik ke atas unta beliau. Aku merasa sangat malu dengan laki-laki lainnya. Demikian pula aku khawatir terhadap Zubair Rodhiallahu Anhu yang sangat pencemburu. Aku khawatir ia akan marah. Memahami perasaanku, Rasulullah membiarkanku dan meninggalkanku. Lalu segera aku pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, aku menceritakan peristiwa tersebut kepada Zubair Rodhiallahu Anhu tentang perasaanku yang sangat malu dan kekhawatiranku jangan-jangan Zubair Rodhiallahu Anhu merasa cemburu sehingga menyebabkannya menjadi marah. Zubair Rodhiallahu Anhu berkata, “Demi Allah aku lebih cemburu kepadamu yang selalu membawa isi-isi kurma di atas kepalamu sementara aku tidak dapat membantumu.””
Setelah itu Abu Bakar, ayah Asma’ Rodhiallahu Anha, memberikan seorang hamba sahaya kepada Asma’. Dengan adanya pembantu di rumahnya, maka pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikan dengan ringan, seolah-olah aku telah terbebas dari penjara.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq Rodhiallahu Anhu berhijrah, sedikit pun tidak terpikirkan olehnya untuk meninggalkan sesuatu untuk keluarganya. Ia berhijrah bersama-sama Rasulullah. Untuk keperluan itu, seluruh kekayaan yang ia miliki, sejumlah lebih kurang 5 atau 6 dirham dibawa serta dalam perjalanan tersebut. Setelah kepergiannya, ayah Abu Bakar Rodhiallahu Anhu yakni Abu Qahafah yang buta penglihatannya dan sampai saat itu belum masuk Islam mendatangi cucunya, Asma Rodhiallahu Anha dan Aisyah Rodhiallahu Anha agar mereka tidak bersedih karena telah ditinggal oleh ayahnya. Ia berkata kepada mereka, “Aku telah menduga bahwa Abu Bakar Rodhiallahu Anhu telah menyebabkan kalian susah. Tentunya seluruh hartanya telah dibawa serta olehnya. Sungguh ia telah semakin banyak membebani kalian.”
Menanggapi perkataan kakeknya, Asma Rodhiallahu Anha berkata, “Tidak, tidak wahai kakek. Ayah juga meninggalkan hartanya untuk kami.” Sambil berkata demikian ia mengumpulkan kerikil-kerikil kecil kemudian diletakkannya di tempat Abu Bakar biasa menyimpan uang dirhamnya, lalu ditaruh di atas selembar kain. Kemudian dipegangnya tangan kakeknya untuk merabanya. Kakeknya mengira bahwa kerikil yang telah dirabanya itu adalah uang. Akhirnya kakeknya berkata, “Ayahmu memang telah berbuat baik. Kalian telah ditinggalkan dalam keadaan yang baik.” Sesudah itu, Asma Rodhiallahu Anha berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ayahku tidak meninggalkan harta sedikit pun. Aku berbuat demikian semata-mata untuk menenangkan hati kakek, supaya kakek tidak bersedih hati.”
Asma’ Rodhiallahu Anha memiliki sifat yang sangat dermawan. Pada mulanya, apabila ia akan mengeluarkan harta di jalan Allah ia akan menghitungnya dan menimbangnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menyimpan-nyimpan atau menghitung-hitung (harta yang akan diinfakkan). Apabila mampu, belanjakanlah sebanyak mungkin.”
Akhirnya setelah mendengar nasihat ini, Asma Rodhiallahu Anha semakin banyak menyumbangkan hartanya. Ia juga selalu menasehati anak-anak dan perempuan-perempuan yang ada di rumahnya, “Hendaklah kalian selalu meningkatkan diri dalam membelanjakan harta di jalan Allah, jangan menunggu-nunggu kelebihan harta kita dari keperluan-keperluan kita (yaitu jika ada sisa harta setelah dibelanjakan untuk keperluan membeli barang-barang, barulah sisa tersebut disedekahkan.) Jangan kalian berpikir tentang sisanya. Jika kalian selalu menunggu sisanya, sedangkan keperluan kalian bertambah banyak, maka itu tidak akan mencukupi keperluan kalian sehingga kita tidak memiliki kesempatan untuk membelanjakannya di jalan Allah. Jika keperluan itu disumbangkan di jalan Allah, maka kalian tidak akan mengalami kerugian selamanya.”
Asma’ binti Abu Bakar sudah memeluk Islam sejak masa-masa awal datangnya Islam. Beliau adalah saudarinya ibunda Aisyah Rodhiallahu Anha. Suatu waktu, ketika Rasullah dengan Abu Bakar Rodhiallahu Anhu telah memerintah Zaid Rodhiallahu Anhu dan beberapa orang pegawainya untuk mengambil kudanya dan keluarganya untuk dibawa ke Madinah.
Asma Rodhiallahu Anha berhijrah dengan rombongan tersebut. Sesampainya di Quba – dari rahim Asma Rodhiallahu Anha – lahirlah putra pertamanya yakni Abdullah bin Zubair.
Dalam sejarah Islam, itulah bayi pertama yang dilahirkan setelah hijrah. Pada zaman itu banyak terjadi kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan kelaparan. Tetapi pada zaman itu juga muncul kehebatan dan keberanian yang tiada bandingannya. Dalam sebuah riwayat dari Bukhari diceritakan bahwa Asma’ Rodhiallahu Anha sendiri pernah menceritakan tentang keadaan hidupnya,
“Ketika aku menikah dengan Zubair Rodhiallahu Anhu, ia tidak memiliki harta sedikit pun, tidak memiliki tanah, tidak memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki sesuatu apa pun. Hanya ada satu unta milikku yang biasa digunakan untuk membawa air, juga seekor kuda. Dengan unta tersebut, kami dapat membawa rumput dan lain-lainnya. Akulah yang menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut. Aku sendirilah yang mengisi tempat air sampai penuh. Apabila embernya peceh, aku sendirilah yang memperbaikinya. Pekerjaan merawat kuda, seperti mencarikan rumput dan memberinya makan, juga aku sendiri yang melakukannya. Semua pekerjaan yang paling sulit bagiku adalah memberi makan kuda. Aku kurang pandai membuat roti. Untuk membuat roti, biasanya aku hanya mencampurkan gandum dengan air, kemudian kubawa kepada wanita tetangga, yaitu seorang wanita Anshar, agar ia memasakkannya. Ia adalah seorang wanita yang ikhlas. Dialah yang memasakkan roti untukku.
Ketika Rasulullah sampai di Madinah, maka Zubair Rodhiallahu Anhu telah diberi hadiah oleh Rasulullah berupa sebidang tanah, seluas kurang lebih 2 mil (jauhnya dari kota). Lalu, kebun itu kami tanami pohon-pohon kurma. Suatu ketika, aku sedang berjalan sambil membawa kurma di atas kepalaku yang aku ambil dari kebun tersebut. Di tengah jalan aku bertemu Rasulullah dan beberapa sahabat Anshar lainnya yang sedang menunggang unta. Setelah Rasulullah melihatku, beliau pun menghentikan untanya. Kemudian beliau mengisyaratkan agar aku naik ke atas unta beliau. Aku merasa sangat malu dengan laki-laki lainnya. Demikian pula aku khawatir terhadap Zubair Rodhiallahu Anhu yang sangat pencemburu. Aku khawatir ia akan marah. Memahami perasaanku, Rasulullah membiarkanku dan meninggalkanku. Lalu segera aku pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, aku menceritakan peristiwa tersebut kepada Zubair Rodhiallahu Anhu tentang perasaanku yang sangat malu dan kekhawatiranku jangan-jangan Zubair Rodhiallahu Anhu merasa cemburu sehingga menyebabkannya menjadi marah. Zubair Rodhiallahu Anhu berkata, “Demi Allah aku lebih cemburu kepadamu yang selalu membawa isi-isi kurma di atas kepalamu sementara aku tidak dapat membantumu.””
Setelah itu Abu Bakar, ayah Asma’ Rodhiallahu Anha, memberikan seorang hamba sahaya kepada Asma’. Dengan adanya pembantu di rumahnya, maka pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikan dengan ringan, seolah-olah aku telah terbebas dari penjara.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq Rodhiallahu Anhu berhijrah, sedikit pun tidak terpikirkan olehnya untuk meninggalkan sesuatu untuk keluarganya. Ia berhijrah bersama-sama Rasulullah. Untuk keperluan itu, seluruh kekayaan yang ia miliki, sejumlah lebih kurang 5 atau 6 dirham dibawa serta dalam perjalanan tersebut. Setelah kepergiannya, ayah Abu Bakar Rodhiallahu Anhu yakni Abu Qahafah yang buta penglihatannya dan sampai saat itu belum masuk Islam mendatangi cucunya, Asma Rodhiallahu Anha dan Aisyah Rodhiallahu Anha agar mereka tidak bersedih karena telah ditinggal oleh ayahnya. Ia berkata kepada mereka, “Aku telah menduga bahwa Abu Bakar Rodhiallahu Anhu telah menyebabkan kalian susah. Tentunya seluruh hartanya telah dibawa serta olehnya. Sungguh ia telah semakin banyak membebani kalian.”
Menanggapi perkataan kakeknya, Asma Rodhiallahu Anha berkata, “Tidak, tidak wahai kakek. Ayah juga meninggalkan hartanya untuk kami.” Sambil berkata demikian ia mengumpulkan kerikil-kerikil kecil kemudian diletakkannya di tempat Abu Bakar biasa menyimpan uang dirhamnya, lalu ditaruh di atas selembar kain. Kemudian dipegangnya tangan kakeknya untuk merabanya. Kakeknya mengira bahwa kerikil yang telah dirabanya itu adalah uang. Akhirnya kakeknya berkata, “Ayahmu memang telah berbuat baik. Kalian telah ditinggalkan dalam keadaan yang baik.” Sesudah itu, Asma Rodhiallahu Anha berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ayahku tidak meninggalkan harta sedikit pun. Aku berbuat demikian semata-mata untuk menenangkan hati kakek, supaya kakek tidak bersedih hati.”
Asma’ Rodhiallahu Anha memiliki sifat yang sangat dermawan. Pada mulanya, apabila ia akan mengeluarkan harta di jalan Allah ia akan menghitungnya dan menimbangnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menyimpan-nyimpan atau menghitung-hitung (harta yang akan diinfakkan). Apabila mampu, belanjakanlah sebanyak mungkin.”
Akhirnya setelah mendengar nasihat ini, Asma Rodhiallahu Anha semakin banyak menyumbangkan hartanya. Ia juga selalu menasehati anak-anak dan perempuan-perempuan yang ada di rumahnya, “Hendaklah kalian selalu meningkatkan diri dalam membelanjakan harta di jalan Allah, jangan menunggu-nunggu kelebihan harta kita dari keperluan-keperluan kita (yaitu jika ada sisa harta setelah dibelanjakan untuk keperluan membeli barang-barang, barulah sisa tersebut disedekahkan.) Jangan kalian berpikir tentang sisanya. Jika kalian selalu menunggu sisanya, sedangkan keperluan kalian bertambah banyak, maka itu tidak akan mencukupi keperluan kalian sehingga kita tidak memiliki kesempatan untuk membelanjakannya di jalan Allah. Jika keperluan itu disumbangkan di jalan Allah, maka kalian tidak akan mengalami kerugian selamanya.”
Minggu, 21 Maret 2010
Pembunuh Nomor Satu Itu Bernama Rokok
Bentuknya bulat panjang, kecil dan mudah dibawa, setiap toko di Indonesia mulai dari supermarket hingga toko kelontong di ujung lorong menyediakan tempat untuk menjual barang yang satu ini, penikmatnya pun tidak mengenal batasan mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek, mulai dari tukang becak sampai para pejabat di negeri ini akrab dengan barang yang satu ini. Di negeri ini banyak orang yang senang padanya bahkan sampai pada taraf kecanduan. Itulah rokok.
Baru-baru ini MUI melalui sidang Ijtima’ komisi fatwa yang digelar di Padang Sumatera Barat memutuskan mengeluarkan fatwa haram merokok bagi anak-anak, ibu hamil dan merokok di tempat umum. Banyak kontroversi seputar fatwa ini mulai dari yang pro sampai yang kontra. Yang berada di garis pro adalah orang-orang yang sepakat bahwa rokok akan menghancurkan seluruh generasi yang tentunya didukung dengan data dari ahli kesehatan. Dan tentu saja kelompok yang kontra dengan fatwa ini kebanyakan diwakili oleh para perokok aktif dan orang-orang yang punya kepentingan bisnis di dalamnya.
Para ulama seluruh dunia telah memfatwakan tentang hukum rokok ini diantaranya :
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah
“Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat Alquran dan As-Sunah serta i’tibar (logika) yang benar. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195).
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu. Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat di atas adalah merokok termasuk perbuatan yang mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Sedangkan dalil dari As-Sunah adalah hadis shahih dari Rasulullah. bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasian harta pada hal yang tidak bermanfaat, bahkan pengalokasian harta kepada hal-hal yang mengandung kemudharatan. Dalil yang lain, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340).
Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal, ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.
Adapun dalil dari logika yang benar yang menunjukkan keharaman rokok adalah karena dengan perbuatan itu perokok mencampakkan dirinya ke dalam hal yang menimbukan bahaya, rasa cemas, dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentu tidak rela hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisinya, dan demikian sesaknya dada si perokok bila tidak menghisapnya. Alangkah berat ia melakukan puasa dan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu menghalangi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang saleh karena tidak mungkin mereka membiarkan asap rokok mengepul di hadapan mereka. Karena itu, Anda akan melihat perokok demikian tidak karuan bila duduk dan berinteraksi dengan orang-orang saleh.
Semua logika itu menunjukkan bahwa merokok hukumnya diharamkan. Karena itu, nasehat saya untuk saudara-saudara kaum muslimin yang masih didera oleh kebiasaan menghisap rokok agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad untuk meninggalkannya. Sebab, di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan menghindari siksaan-Nya, semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkan hal tersebut. (Program Nur ‘alad Darb, dari Fatwa Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, dari kitab Fatwa-Fatwa Terkini 2).
Dr Yusuf Qardhawi
Rokok haram karena membahayakan. Demikian disebut dalam bukunya ‘Halal & Haram dalam Islam’. Menurutnya, tidak boleh seseorang membuat bahaya dan membalas bahaya, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah “Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”.
Qardhawi menambahkan, selain berbahaya, rokok juga mengajak penikmatnya untuk buang-buang waktu dan harta. Padahal lebih baik harta itu digunakan untuk yang lebih berguna, atau diinfaqkan bila memang keluarganya tidak membutuhkan.
Penelitian Terbaru
Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Sanghai Cina adalah disebabkan rokok.
Penelitian juga menyebutkan bahwa 20 batang rokok per hari akan menyebabkan berkurangnya 15% hemoglobin, yakni zat asasi pembentuk darah merah. Seandainya mereka mengetahui penelitian terakhir bahwa rokok mengandung kurang lebih 4.000 elemen-elemen dan setidaknya 200 di antaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, pastilah pandangan mereka akan berubah.
Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko 14 kali lebih bersar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan dari pada mereka yang tidak menghisapnya. Penghisap rokok juga punya kemungkinan 4 kali lebh besar untuk terkena kanker esophagus dari mereka yang tidak menghisapnya. Penghisap rokok juga beresiko 2 kali lebih besar terkena serangan jantung dari pada mereka yang tidak menghisapnya. Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung serta tekanan darah tinggi. Menggunakan rokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama. Tidak ada satu pun orang yang bisa menyangkal semua fakta di atas, karena merupakan hasil penelitian ilmiyah. Bahkan perusahaan rokok pun mengiyakan hal tersebut, dan menuliskan pada kemasannya kalimat berikut:
MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.
Kalau produsen rokok sendiri sudah menyatakan bahaya produknya berbahaya dan mendatangkan penyakit, bagaimana mungkin konsumen masih mau mengingkarinya?
Rokok memang memberikan kontribusi signifikan, berupa cukai, bayangkan, tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp. 27 trilyun. Belum lagi kontribusi sektor pertanian dan tenaga kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi belaka. Sebagai contoh, jika Pemerintah mendapatkan Rp. 27 trilyun, berapa sebenarnya biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat? Menurut data di berbagai negara, dan juga Indonesia, biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat sebesar 3 kali lipat dari cukai yang didapatkan. Jadi, kalau cukainya Rp. 27 trilyun maka biaya kesehatannya sebesar Rp. 81 trilyun (alias defisit).
Demikianlah sedikit fakta tentang rokok, semoga hal ini menjadi renungan kita bersama dan bisa menyatukan langkah kita untuk menyatakan TIDAK terhadap rokok.
Sumber : http://wimakassar.org/
Baru-baru ini MUI melalui sidang Ijtima’ komisi fatwa yang digelar di Padang Sumatera Barat memutuskan mengeluarkan fatwa haram merokok bagi anak-anak, ibu hamil dan merokok di tempat umum. Banyak kontroversi seputar fatwa ini mulai dari yang pro sampai yang kontra. Yang berada di garis pro adalah orang-orang yang sepakat bahwa rokok akan menghancurkan seluruh generasi yang tentunya didukung dengan data dari ahli kesehatan. Dan tentu saja kelompok yang kontra dengan fatwa ini kebanyakan diwakili oleh para perokok aktif dan orang-orang yang punya kepentingan bisnis di dalamnya.
Para ulama seluruh dunia telah memfatwakan tentang hukum rokok ini diantaranya :
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah
“Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat Alquran dan As-Sunah serta i’tibar (logika) yang benar. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195).
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu. Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat di atas adalah merokok termasuk perbuatan yang mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Sedangkan dalil dari As-Sunah adalah hadis shahih dari Rasulullah. bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasian harta pada hal yang tidak bermanfaat, bahkan pengalokasian harta kepada hal-hal yang mengandung kemudharatan. Dalil yang lain, bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340).
Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal, ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.
Adapun dalil dari logika yang benar yang menunjukkan keharaman rokok adalah karena dengan perbuatan itu perokok mencampakkan dirinya ke dalam hal yang menimbukan bahaya, rasa cemas, dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentu tidak rela hal itu terjadi pada dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisinya, dan demikian sesaknya dada si perokok bila tidak menghisapnya. Alangkah berat ia melakukan puasa dan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu menghalangi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang saleh karena tidak mungkin mereka membiarkan asap rokok mengepul di hadapan mereka. Karena itu, Anda akan melihat perokok demikian tidak karuan bila duduk dan berinteraksi dengan orang-orang saleh.
Semua logika itu menunjukkan bahwa merokok hukumnya diharamkan. Karena itu, nasehat saya untuk saudara-saudara kaum muslimin yang masih didera oleh kebiasaan menghisap rokok agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad untuk meninggalkannya. Sebab, di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan menghindari siksaan-Nya, semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkan hal tersebut. (Program Nur ‘alad Darb, dari Fatwa Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, dari kitab Fatwa-Fatwa Terkini 2).
Dr Yusuf Qardhawi
Rokok haram karena membahayakan. Demikian disebut dalam bukunya ‘Halal & Haram dalam Islam’. Menurutnya, tidak boleh seseorang membuat bahaya dan membalas bahaya, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah “Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”.
Qardhawi menambahkan, selain berbahaya, rokok juga mengajak penikmatnya untuk buang-buang waktu dan harta. Padahal lebih baik harta itu digunakan untuk yang lebih berguna, atau diinfaqkan bila memang keluarganya tidak membutuhkan.
Penelitian Terbaru
Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Sanghai Cina adalah disebabkan rokok.
Penelitian juga menyebutkan bahwa 20 batang rokok per hari akan menyebabkan berkurangnya 15% hemoglobin, yakni zat asasi pembentuk darah merah. Seandainya mereka mengetahui penelitian terakhir bahwa rokok mengandung kurang lebih 4.000 elemen-elemen dan setidaknya 200 di antaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, pastilah pandangan mereka akan berubah.
Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami resiko 14 kali lebih bersar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan dari pada mereka yang tidak menghisapnya. Penghisap rokok juga punya kemungkinan 4 kali lebh besar untuk terkena kanker esophagus dari mereka yang tidak menghisapnya. Penghisap rokok juga beresiko 2 kali lebih besar terkena serangan jantung dari pada mereka yang tidak menghisapnya. Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung serta tekanan darah tinggi. Menggunakan rokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama. Tidak ada satu pun orang yang bisa menyangkal semua fakta di atas, karena merupakan hasil penelitian ilmiyah. Bahkan perusahaan rokok pun mengiyakan hal tersebut, dan menuliskan pada kemasannya kalimat berikut:
MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.
Kalau produsen rokok sendiri sudah menyatakan bahaya produknya berbahaya dan mendatangkan penyakit, bagaimana mungkin konsumen masih mau mengingkarinya?
Rokok memang memberikan kontribusi signifikan, berupa cukai, bayangkan, tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp. 27 trilyun. Belum lagi kontribusi sektor pertanian dan tenaga kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi belaka. Sebagai contoh, jika Pemerintah mendapatkan Rp. 27 trilyun, berapa sebenarnya biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat? Menurut data di berbagai negara, dan juga Indonesia, biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat sebesar 3 kali lipat dari cukai yang didapatkan. Jadi, kalau cukainya Rp. 27 trilyun maka biaya kesehatannya sebesar Rp. 81 trilyun (alias defisit).
Demikianlah sedikit fakta tentang rokok, semoga hal ini menjadi renungan kita bersama dan bisa menyatukan langkah kita untuk menyatakan TIDAK terhadap rokok.
Sumber : http://wimakassar.org/
Kamis, 21 Januari 2010
Kisah Gadis Kecil dan Hasan Al Bashri
Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusut dan terurai, tak beraturan.
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu. Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya. "Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini." Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, "Ayahmu juga sebelumnyatak mengalami peristiwa seperti ini."
Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makan ayahnya. "Gadis kecil yang bijak," gumam Al-Bashri. "Aku akan ikuti gadis kecil itu."
Gadis kecil itu tiba di makan ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri. "Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah?
Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?" "Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalam, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah?
Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?"
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu. "Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, "Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah?
Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercabik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, Ayah?"
"Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?"
"Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?"
"Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?"
"Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?"
"Jika kupanggil, engkau selalu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?" "Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti."
Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, "Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai."
Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.
Maraji': Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah (Al-Islam)
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu. Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya. "Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini." Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, "Ayahmu juga sebelumnyatak mengalami peristiwa seperti ini."
Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makan ayahnya. "Gadis kecil yang bijak," gumam Al-Bashri. "Aku akan ikuti gadis kecil itu."
Gadis kecil itu tiba di makan ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri. "Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah?
Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?" "Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalam, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah?
Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?"
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu. "Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, "Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah?
Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercabik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, Ayah?"
"Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?"
"Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?"
"Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?"
"Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?"
"Jika kupanggil, engkau selalu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?" "Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti."
Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, "Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai."
Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.
Maraji': Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah (Al-Islam)
Langganan:
Postingan (Atom)